Pemotongan Jaringan (GROSS)
Here we go! kali ini bahas tentang pemotongan jaringan atau yang sering disebut GROSS.
selain proses fiksasi dengan formalin 10%, sebelum melakukan pemotongan jaringan, hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
Deskripsikan bahan yang akan di gross
1. menilai kelengkapan data klinik dalam formulir
2. mendiskripsikan secara lengkap gambaran makroskopis jaringan (tekstur, berat-ukuran, jumlah, warna, konsistensi, bau) yang disesuaikan dengan data klinik dan jumlah jaringan yang diterima
Melakukan pemotongan jaringan
o menentukan bagian yang mengalami kelainan
o melakukan pemotongan jaringan/ organ berdasarkan pedoman/prinsip
o menentukan jumlah kup yang dianggap memadai (mewakili bagian yang mengalami kelainan)
COLON
1. KGB/ omentum
2. potong kedua ujung kolon
3. sayat secara horizontal
4. ambil masa
PAYUDARA
1. KGB/Omentum
2. masa tumor, batas irisan, kedua ujung
3. puting
APPENDIKS
1. Potong cincin pada bagian yang tidak buntu
2. potong horizontal untuk bagian yang buntu
MATA
1. dibelah dua, buang cairannya
2. sebelum memotong perhatikan potongannya mengenai nervus
3. yang perlu diambil : potongan retina, pupil, bila ada massa diambil, nelphusnya diambil (untuk mengetahui penjalaran tumor).
GINEKOLOGI
1. bagian2 yang representatif
2. serviks, endometrium, tuba fallopi.
Sabtu, 24 Maret 2012
Selasa, 20 Maret 2012
SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase)
SGPT atau juga dinamakan ALT (alanin aminotransferase) merupakan enzim yang banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal dan otot rangka. Pada umumnya nilai tes SGPT/ALT lebih tinggi daripada SGOT/AST pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada proses kronis didapat sebaliknya.
SGPT/ALT serum umumnya diperiksa secara fotometri atau spektrofotometri, secara semi otomatis atau otomatis. Nilai rujukan untuk SGPT/ALT adalah :
Laki-laki : 0 - 50 U/L
Perempuan : 0 - 35 U/L
Masalah Klinis
Kondisi yang meningkatkan kadar SGPT/ALT adalah :
Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati (toksisitas obat atau kimia)
Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif, sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard (SGOT>SGPT)
Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec, sirosis biliaris.
Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
Pengambilan darah pada area yang terpasang jalur intra-vena dapat menurunkan kadar
Trauma pada proses pengambilan sampel akibat tidak sekali tusuk kena dapat meningkatkan kadar
Hemolisis sampel
Obat-obatan dapat meningkatkan kadar : antibiotik (klindamisin, karbenisilin, eritromisin, gentamisin, linkomisin, mitramisin, spektinomisin, tetrasiklin), narkotika (meperidin/demerol, morfin, kodein), antihipertensi (metildopa, guanetidin), preparat digitalis, indometasin (Indosin), salisilat, rifampin, flurazepam (Dalmane), propanolol (Inderal), kontrasepsi oral (progestin-estrogen), lead, heparin.
Aspirin dapat meningkatkan atau menurunkan kadar.
Bahan bacaan :
Frances K. Widmann, alih bahasa : S. Boedina Kresno dkk., Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 9, cetakan ke-1, EGC, Jakarta, 1992.
Joyce LeFever Kee, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik, EGC, Jakarta, 2007.
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Cabang Jakarta, SI Units : Tabel Konversi Sisten Satuan SI – Konvensional dan Nilai Rujukan Dewasa – Anak Parameter Laboratorium Klinik, Jakarta, 2004.
Ronald A. Sacher & Richard A. McPherson, alih bahasa : Brahm U. Pendit dan Dewi Wulandari, editor : Huriawati Hartanto, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 11, EGC, Jakarta, 2004.
The Royal College of Pathologists of Australasia, Manual of Use and Interpretation of Pathology Test, Griffin Press Ltd., Netley, Australia, 1990.
SGPT/ALT serum umumnya diperiksa secara fotometri atau spektrofotometri, secara semi otomatis atau otomatis. Nilai rujukan untuk SGPT/ALT adalah :
Laki-laki : 0 - 50 U/L
Perempuan : 0 - 35 U/L
Masalah Klinis
Kondisi yang meningkatkan kadar SGPT/ALT adalah :
Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati (toksisitas obat atau kimia)
Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif, sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard (SGOT>SGPT)
Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec, sirosis biliaris.
Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
Pengambilan darah pada area yang terpasang jalur intra-vena dapat menurunkan kadar
Trauma pada proses pengambilan sampel akibat tidak sekali tusuk kena dapat meningkatkan kadar
Hemolisis sampel
Obat-obatan dapat meningkatkan kadar : antibiotik (klindamisin, karbenisilin, eritromisin, gentamisin, linkomisin, mitramisin, spektinomisin, tetrasiklin), narkotika (meperidin/demerol, morfin, kodein), antihipertensi (metildopa, guanetidin), preparat digitalis, indometasin (Indosin), salisilat, rifampin, flurazepam (Dalmane), propanolol (Inderal), kontrasepsi oral (progestin-estrogen), lead, heparin.
Aspirin dapat meningkatkan atau menurunkan kadar.
Bahan bacaan :
Frances K. Widmann, alih bahasa : S. Boedina Kresno dkk., Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, edisi 9, cetakan ke-1, EGC, Jakarta, 1992.
Joyce LeFever Kee, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik, EGC, Jakarta, 2007.
Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Cabang Jakarta, SI Units : Tabel Konversi Sisten Satuan SI – Konvensional dan Nilai Rujukan Dewasa – Anak Parameter Laboratorium Klinik, Jakarta, 2004.
Ronald A. Sacher & Richard A. McPherson, alih bahasa : Brahm U. Pendit dan Dewi Wulandari, editor : Huriawati Hartanto, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 11, EGC, Jakarta, 2004.
The Royal College of Pathologists of Australasia, Manual of Use and Interpretation of Pathology Test, Griffin Press Ltd., Netley, Australia, 1990.
Laju Endap Darah (LED)
Laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR) yang juga disebut kecepatan endap darah (KED) atau laju sedimentasi eritrosit adalah kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan). Sebagian ahli hematologi, LED tidak andal karena tidak spesifik, dan dipengaruhi oleh faktor fisiologis yang menyebabkan temuan tidak akurat.
Pemeriksaan CRP dipertimbangkan lebih berguna daripada LED karena kenaikan kadar CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi akut, dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal daripada LED. Namun, beberapa dokter masih mengharuskan uji LED bila ingin membuat perhitungan kasar mengenai proses penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti perjalanan penyakit. Jika nilai LED meningkat, maka uji laboratorium lain harus dilakukan untuk mengidentifikasi masalah klinis yang muncul.
Metode
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe dan Westergreen. Hasil pemeriksaan LED dengan menggunakan kedua metode tersebut sebenarnya tidak seberapa selisihnya jika nilai LED masih dalam batas normal. Tetapi jika nilai LED meningkat, maka hasil pemeriksaan dengan metode Wintrobe kurang menyakinkan. Dengan metode Westergreen bisa didapat nilai yang lebih tinggi, hal itu disebabkan panjang pipet Westergreen yang dua kali panjang pipet Wintrobe. Kenyataan inilah yang menyebabkan para klinisi lebih menyukai metode Westergreen daribada metode Wintrobe. Selain itu, International Commitee for Standardization in Hematology (ICSH) merekomendasikan untuk menggunakan metode Westergreen.
LED berlangsung 3 tahap, tahap ke-1 penyusunan letak eritrosit (rouleaux formation) dimana kecepatan sedimentasi sangat sedikit, tahap ke-2 kecepatan sedimentasi agak cepat, dan tahap ke-3 kecepatan sedimentasi sangat rendah.
Prosedur
Metode Westergreen
Untuk melakukan pemeriksaan LED cara Westergreen diperlukan sampel darah citrat 4 : 1 (4 bagian darah vena + 1 bagian natrium sitrat 3,2 % ) atau darah EDTA yang diencerkan dengan NaCl 0.85 % 4 : 1 (4 bagian darah EDTA + 1 bagian NaCl 0.85%). Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
Sampel darah yang telah diencerkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung Westergreen sampai tanda/skala 0.
Tabung diletakkan pada rak dengan posisi tegak lurus, jauhkan dari getaran maupun sinar matahari langsung.
Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm penurunan eritrosit.
Metode Wintrobe
Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah Amonium-kalium oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet Pasteur sampai tanda 0.
Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus.
Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.
Nilai Rujukan
Metode Westergreen :
Pria : 0 - 15 mm/jam
Wanita : 0 - 20 mm/jam
Metode Wintrobe :
Pria : 0 - 9 mm/jam
Wanita 0 - 15 mm/jam
Masalah Klinik
Penurunan kadar : polisitemia vera, CHF, anemia sel sabit, mononukleus infeksiosa, defisiensi faktor V, artritis degeneratif, angina pektoris. Pengaruh obat : Etambutol (myambutol), kinin, salisilat (aspirin), kortison, prednison.
Peningkatan kadar : artirits reumatoid, demam rematik, MCI akut, kanker (lambung, kolon, payudara, hati, ginjal), penyakit Hodgkin, mieloma multipel, limfosarkoma, endokarditis bakterial, gout, hepatitis, sirosis hati, inflamasi panggul akut, sifilis, tuberkulosis, glomerulonefritis, penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (eritroblastosis fetalis), SLE, kehamilan (trimester kedua dan ketiga). Pengaruh obat : Dextran, metildopa (Aldomet), metilsergid (Sansert), penisilamin (Cuprimine), prokainamid (Pronestyl), teofilin, kontrasepsi oral, vitamin A.
Faktor-faktor yang mempengaruhi temuan laboratorium :
Faktor yang mengurangi LED : bayi baru lahir (penurunan fibrinogen), obat (lihat pengaruh obat), gula darah tinggi, albumin serum, fosfolipid serum, kelebihan antikoagulan, penurunan suhu.
Faktor yang meningkatkan LED : kehamilan (trimester kedua dan ketiga), menstruasi, obat (lihat pengaruh obat), keberadan kolesterol, fibrinogen, globulin, peningkatan suhu, kemiringan tabung.
Baca Juga Yang Ini
Tes Hematologi
Hemoglobin Janin (HbF)
Fragilitas Osmotik Eritrosit
Sel LE
Hitung Trombosit
Hitung Retikulosit
Indeks Eritrosit
Hitung Eritrosit
Penetapan Nilai Hematokrit
Penetapan Kadar Hemoglobin
Pemeriksaan CRP dipertimbangkan lebih berguna daripada LED karena kenaikan kadar CRP terjadi lebih cepat selama proses inflamasi akut, dan lebih cepat juga kembali ke kadar normal daripada LED. Namun, beberapa dokter masih mengharuskan uji LED bila ingin membuat perhitungan kasar mengenai proses penyakit, dan bermanfaat untuk mengikuti perjalanan penyakit. Jika nilai LED meningkat, maka uji laboratorium lain harus dilakukan untuk mengidentifikasi masalah klinis yang muncul.
Metode
Metode yang digunakan untuk pemeriksaan LED ada dua, yaitu metode Wintrobe dan Westergreen. Hasil pemeriksaan LED dengan menggunakan kedua metode tersebut sebenarnya tidak seberapa selisihnya jika nilai LED masih dalam batas normal. Tetapi jika nilai LED meningkat, maka hasil pemeriksaan dengan metode Wintrobe kurang menyakinkan. Dengan metode Westergreen bisa didapat nilai yang lebih tinggi, hal itu disebabkan panjang pipet Westergreen yang dua kali panjang pipet Wintrobe. Kenyataan inilah yang menyebabkan para klinisi lebih menyukai metode Westergreen daribada metode Wintrobe. Selain itu, International Commitee for Standardization in Hematology (ICSH) merekomendasikan untuk menggunakan metode Westergreen.
LED berlangsung 3 tahap, tahap ke-1 penyusunan letak eritrosit (rouleaux formation) dimana kecepatan sedimentasi sangat sedikit, tahap ke-2 kecepatan sedimentasi agak cepat, dan tahap ke-3 kecepatan sedimentasi sangat rendah.
Prosedur
Metode Westergreen
Untuk melakukan pemeriksaan LED cara Westergreen diperlukan sampel darah citrat 4 : 1 (4 bagian darah vena + 1 bagian natrium sitrat 3,2 % ) atau darah EDTA yang diencerkan dengan NaCl 0.85 % 4 : 1 (4 bagian darah EDTA + 1 bagian NaCl 0.85%). Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
Sampel darah yang telah diencerkan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung Westergreen sampai tanda/skala 0.
Tabung diletakkan pada rak dengan posisi tegak lurus, jauhkan dari getaran maupun sinar matahari langsung.
Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm penurunan eritrosit.
Metode Wintrobe
Sampel yang digunakan berupa darah EDTA atau darah Amonium-kalium oksalat. Homogenisasi sampel sebelum diperiksa.
Sampel dimasukkan ke dalam tabung Wintrobe menggunakan pipet Pasteur sampai tanda 0.
Letakkan tabung dengan posisi tegak lurus.
Biarkan tepat 1 jam dan catatlah berapa mm menurunnya eritrosit.
Nilai Rujukan
Metode Westergreen :
Pria : 0 - 15 mm/jam
Wanita : 0 - 20 mm/jam
Metode Wintrobe :
Pria : 0 - 9 mm/jam
Wanita 0 - 15 mm/jam
Masalah Klinik
Penurunan kadar : polisitemia vera, CHF, anemia sel sabit, mononukleus infeksiosa, defisiensi faktor V, artritis degeneratif, angina pektoris. Pengaruh obat : Etambutol (myambutol), kinin, salisilat (aspirin), kortison, prednison.
Peningkatan kadar : artirits reumatoid, demam rematik, MCI akut, kanker (lambung, kolon, payudara, hati, ginjal), penyakit Hodgkin, mieloma multipel, limfosarkoma, endokarditis bakterial, gout, hepatitis, sirosis hati, inflamasi panggul akut, sifilis, tuberkulosis, glomerulonefritis, penyakit hemolitik pada bayi baru lahir (eritroblastosis fetalis), SLE, kehamilan (trimester kedua dan ketiga). Pengaruh obat : Dextran, metildopa (Aldomet), metilsergid (Sansert), penisilamin (Cuprimine), prokainamid (Pronestyl), teofilin, kontrasepsi oral, vitamin A.
Faktor-faktor yang mempengaruhi temuan laboratorium :
Faktor yang mengurangi LED : bayi baru lahir (penurunan fibrinogen), obat (lihat pengaruh obat), gula darah tinggi, albumin serum, fosfolipid serum, kelebihan antikoagulan, penurunan suhu.
Faktor yang meningkatkan LED : kehamilan (trimester kedua dan ketiga), menstruasi, obat (lihat pengaruh obat), keberadan kolesterol, fibrinogen, globulin, peningkatan suhu, kemiringan tabung.
Baca Juga Yang Ini
Tes Hematologi
Hemoglobin Janin (HbF)
Fragilitas Osmotik Eritrosit
Sel LE
Hitung Trombosit
Hitung Retikulosit
Indeks Eritrosit
Hitung Eritrosit
Penetapan Nilai Hematokrit
Penetapan Kadar Hemoglobin
Teknik Sitohistoteknologi
Tahapan- tahapan dalam melakukan teknik sito-histologi dimulai dari mendapatkan jaringan sampai dihasilkan preparat yang siap diperiksa secara mikroskopis
Tahapan Teknik Sito-Histologi
1. Mendapatkan Jaringan
2. Fiksasi
3. Dehidrasi
4. Clearing
5. Embedding
6. Sectioning/Cutting
7. Mounting
8. Staining
9. Labeling
Mendapatkan Jaringan
• Jaringan harus diduga tumor atau kelainan
• Jaringan harus sudah difikasasi sebelum 6 jam setelah kematian, bisa terjadi maserasi
• Pemotongan menggunakan pisau tajam ukuran biasanya (1,5x1x0,5) cm3
• Mendapatkan Jaringan
• Harus segera dimasukkan ke dlm larutan fiksasi (Volume 40x) selama 1 malam
• Tidak boleh dicuci dg air (terjadi perubahan tekanan osmotic
• Tidak boleh disimpan dlm NaCl 0,9 % -maserasi
• Tidak boleh dibekukan-pembentukan kristal es dlm sitoplasma
• Jaringan berbentuk tulang harus didekalsifikasi agar lunak dg HCl 0,5 %
Fiksasi Jaringan
Fiksasi Jaringan adalah Proses mengawetkan jaringan agar awet dan kondisinya sama seperti hidup, mempertahankan elemen-elemen sel / jaringan agar tetap pada tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk dan ukuran. Zat yang digunakan : fiksatif. Dilakukan dengan merendam jaringan ke lart fiksasi (volume min 20x besar jar) selama 24 jam
Fiksatif :
- Mempunyai kemampuan mengubah indeks bias bagian sel sehingga mudah dilihat dengan mikroskop.
- Membuat jaringan mudah menyerap zat warna.
Lama fiksatif tergantung :
- Macam jaringan
- Tebal tipisnya jaringan
- Macam fiksatif yang dipergunakan.
Macam-macam fiksatif
a. Larutan fiksatif sederhana
Hanya mengandung satu macam zat saja. Misal : etanol 70-100% ; Formaldehyde 4-10% ; Asam asetat 0,3-5% ; Asam pikrat ; asam Chromiat 0,5-1 % dll.
b. Larutan Fiksatif Majemuk / campuran
Mengandung lebih dari satu macam zat. Misal : larutan Bouin (asam pikrat, formalin dan asam asetat glasial) ; Larutan Zenker (merkuri chlorida, potassium dichromate, aquadest) dll.
Larutan Zenker : Nuklei dan jaringan pengikat sangat terpulas baik terutama jaringan tumor.
Manfaat Fiksasi :
•Sel & jar keadaannya seperti hidup
•Membunuh Bakteri
•Mematikan sel secara serentak
•Mengeraskan jaringan
•Melindungi sel dari prosesselanjutnya
•Mempermudah pengecatan
•Melindungi sel/jar dari autolysis dan putrefaction
Fiksasi Jaringan
Berdasar Cara Kerja :
• Precipitant fixatives (mengkoagulasikan protein) ex : Mercuri klorida, alcohol
• Non Precipitant fixatives (mendenaturasikan protein) ex : Potassium diphosphat
Berdasar Tujuan Pemakaian :
• Micro Anatomical Fixatives (melihat komponen jar scr keseluruhan) ex : susa, Bouin, Zenker
• Cytological Fixatives :
melihat komponen inti, ex : Fleming, Corney, Sanpelice.
melihat komponen sitoplasma, ex : Formaldehida (5% Formal saline), Fleming dikurangi asam asetat galsial,
BERDASARKAN KOMPOSISINYA
Simple fixative (Zat fiksatif yang dipakai tunggal) ex : Mercuri Chlorida, Alkohol, Picric Acid, Chromic Acid
Compound fixatives (Zat fiksatif yang digunakan secara gabungan) ex : NaCl Formalin, Suza, Zenker, dsb.
Kecepatan penetrasi zat Fiksatif Berbeda-beda
o Paling cepat : asam acetat glacial
o Paling lambat : Osmium Tetraoksida (OsO4)
SIFAT ZAT FIKSATIF
Alkohol - Mengeraskan jaringan.
- Daya penetrasi kuat.
- Melarutkan kromatin
Asam Asetat Glasial- Melunakan jaringan.
- Daya penetrasi kuat.
- Memfiksasi kromatin
Dehidrasi
Proses penarikan air secara aktif dari dalam jaringan
Proses Dehidrasi
Untuk memudahkan proses infiltrasi parafin ke dalam jaringan menggunakan alkohol dari konsentrasi rendah-tinggi
Proses Dehidrasi
Contoh Proses Dehidrasi
• alkohol 70%.......... 1 hari
• alkohol 80%........... 1 hari
• alkohol 90%........... 1 hari
• alkohol 95% .......... 1 hari
• alkohol 95% .......... 1 hari
• alkohol 100% ........ 1 hari
• alkohol 100% ........ .1 hari
Alkohol dapat dimurnikan kembali dengan cuprisulfat (CuSO4) Cuprisulfat -putih (tak mengandung air) akan berubah menjadi biru (mengandung air). Ganti cuprisulfat beberapa kali hingga warnanya tetap putih walaupun telah disimpan beberapa hari. Cuprisulfat yang telah bewarna biru karena mengandung air dapat di hilangkan airnya dengan cara memanaskan.
Proses Dehidrasi
Lamanya waktu tergantung pada :
Besar kecilnya jaringan
Konsentrasi jaringan
Macam zat fiksasi yang dipakai
Sifat clearing agent yang dipakai
Proses Clearing
Syarat clearing agent harus melarutkan alkohol dan parafin
Clearing agent yang biasa dipakai :
Xylene.
Benzene
Toluen
Chloroform
EMBEDDING
Embedding adalah Proses memasukkan jaringan ke dlm parafin cair untuk dibuat blok yg padat
Meliputi :
q Impregnation
q Blocking
q Trimming
Proses Embedding
Impregnation.
proses penggantian larutan toluen dengan parafin cair
Blocking.
Memasukkan jaringan ke dalam parafin cair - dipadatkan (menurunkan suhu parafin)-dicetak
Trimming.
Meratakan/merapikan jaringan yg telah diblock parafin dengan menggunakan pisau atau langsung dengan mikrotome, sehingga pada saat pemotongan didapatkan potongan bentuk jaringan yang baik
Proses
SECTIONING / CUTTING
Sectioning adalah proses pemotongan jar dengan mikrotom-ukuran sangat tipis 4-10 µ-tembus cahaya saat diperiksa dg mikroskop
Diperhatikan :
• Pisau harus tajam
• Blok jaringan harus dingin
• Ketebalan pemotongan harus disesuaikan dengan jenis jaringan
Proses Sectioning
Dinginkan pada lemari es / cold plate - akan terlepas dari cetakan bloknya dan tempatkan pada hold mikrotome untuk dipotong (ketebalan 3 – 5 µ) -membentuk lembaran pita
MOUNTING
Menempelkan potongan jaringan yg baik ke obyek glass
Proses Mounting
} Obyek glass diberi albumin agar Jar menempel dg baik
} Dimasukkan ke dalam water bath suhu 30 0C - lembaran pita tidak melipat
} Bila sudah menempel dikeringkan/ diriskan (Bisa dg Hot Plate)
} Stretching tissue in warm water.
Staining
mewarnai preparat
Staining
Macam pewarnaan berdasarkan asal zat warna :
Natural Dyes,
Acid Carmine : ekstrak serangga betina yang hidup di pohon kaktus di daerah tropis.
Hematoxyline : getah pohon Haematoxylinecampechianum
Syntetic Dyes
Benzene, Quinone, Anilline.
Staining
Prinsip Kerja Pewarnaan :
• Secara umum zat warna yang bersifat asam akan mewarnai bagian sel yang bersifat basa dan sebaliknya
• cat netral (gugus asam dan gugus basa keduanya berwarna) Misal :
• Romanowsky ,(Camp methylen Blue & Eosin)
Staining
Berdasarkan waktu :
• Direct Staining, molekul zat warna langsung ditangkap oleh jaringan, misalnya Eosin
• Indirect Staining, molekul zat warna baru bisa ditangkap oleh jaringan jika menggunakan zat perantara yang disebut Mordant, misalnya Haematoxyline menggunakan Potasium Alum sebagai mordantnya.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Menggunakan 2 macam zat warna yaitu
q Hematoksilin -memulas inti sel dan memberikan warna biru (basofilik)
q Eosin yang merupakan counterstaining hematoksilin, memulas sitoplasma sel dan jaringan penyambung dan memberikan warna merah muda dengan nuansa yang berbeda.
Interpretasi hasil :
P Inti sel bewarna biru
P Sitoplasma bewarna kemerahan dengan adanya beberapa variasi warna pada komponen tertentu
Sumber :
http://www.infoanaliskesehatan.info/category/sitohistoteknologi.html
http://analismuslim.blogspot.com/2012/01/teknik-histologi.html
Tahapan Teknik Sito-Histologi
1. Mendapatkan Jaringan
2. Fiksasi
3. Dehidrasi
4. Clearing
5. Embedding
6. Sectioning/Cutting
7. Mounting
8. Staining
9. Labeling
Mendapatkan Jaringan
• Jaringan harus diduga tumor atau kelainan
• Jaringan harus sudah difikasasi sebelum 6 jam setelah kematian, bisa terjadi maserasi
• Pemotongan menggunakan pisau tajam ukuran biasanya (1,5x1x0,5) cm3
• Mendapatkan Jaringan
• Harus segera dimasukkan ke dlm larutan fiksasi (Volume 40x) selama 1 malam
• Tidak boleh dicuci dg air (terjadi perubahan tekanan osmotic
• Tidak boleh disimpan dlm NaCl 0,9 % -maserasi
• Tidak boleh dibekukan-pembentukan kristal es dlm sitoplasma
• Jaringan berbentuk tulang harus didekalsifikasi agar lunak dg HCl 0,5 %
Fiksasi Jaringan
Fiksasi Jaringan adalah Proses mengawetkan jaringan agar awet dan kondisinya sama seperti hidup, mempertahankan elemen-elemen sel / jaringan agar tetap pada tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk dan ukuran. Zat yang digunakan : fiksatif. Dilakukan dengan merendam jaringan ke lart fiksasi (volume min 20x besar jar) selama 24 jam
Fiksatif :
- Mempunyai kemampuan mengubah indeks bias bagian sel sehingga mudah dilihat dengan mikroskop.
- Membuat jaringan mudah menyerap zat warna.
Lama fiksatif tergantung :
- Macam jaringan
- Tebal tipisnya jaringan
- Macam fiksatif yang dipergunakan.
Macam-macam fiksatif
a. Larutan fiksatif sederhana
Hanya mengandung satu macam zat saja. Misal : etanol 70-100% ; Formaldehyde 4-10% ; Asam asetat 0,3-5% ; Asam pikrat ; asam Chromiat 0,5-1 % dll.
b. Larutan Fiksatif Majemuk / campuran
Mengandung lebih dari satu macam zat. Misal : larutan Bouin (asam pikrat, formalin dan asam asetat glasial) ; Larutan Zenker (merkuri chlorida, potassium dichromate, aquadest) dll.
Larutan Zenker : Nuklei dan jaringan pengikat sangat terpulas baik terutama jaringan tumor.
Manfaat Fiksasi :
•Sel & jar keadaannya seperti hidup
•Membunuh Bakteri
•Mematikan sel secara serentak
•Mengeraskan jaringan
•Melindungi sel dari prosesselanjutnya
•Mempermudah pengecatan
•Melindungi sel/jar dari autolysis dan putrefaction
Fiksasi Jaringan
Berdasar Cara Kerja :
• Precipitant fixatives (mengkoagulasikan protein) ex : Mercuri klorida, alcohol
• Non Precipitant fixatives (mendenaturasikan protein) ex : Potassium diphosphat
Berdasar Tujuan Pemakaian :
• Micro Anatomical Fixatives (melihat komponen jar scr keseluruhan) ex : susa, Bouin, Zenker
• Cytological Fixatives :
melihat komponen inti, ex : Fleming, Corney, Sanpelice.
melihat komponen sitoplasma, ex : Formaldehida (5% Formal saline), Fleming dikurangi asam asetat galsial,
BERDASARKAN KOMPOSISINYA
Simple fixative (Zat fiksatif yang dipakai tunggal) ex : Mercuri Chlorida, Alkohol, Picric Acid, Chromic Acid
Compound fixatives (Zat fiksatif yang digunakan secara gabungan) ex : NaCl Formalin, Suza, Zenker, dsb.
Kecepatan penetrasi zat Fiksatif Berbeda-beda
o Paling cepat : asam acetat glacial
o Paling lambat : Osmium Tetraoksida (OsO4)
SIFAT ZAT FIKSATIF
Alkohol - Mengeraskan jaringan.
- Daya penetrasi kuat.
- Melarutkan kromatin
Asam Asetat Glasial- Melunakan jaringan.
- Daya penetrasi kuat.
- Memfiksasi kromatin
Dehidrasi
Proses penarikan air secara aktif dari dalam jaringan
Proses Dehidrasi
Untuk memudahkan proses infiltrasi parafin ke dalam jaringan menggunakan alkohol dari konsentrasi rendah-tinggi
Proses Dehidrasi
Contoh Proses Dehidrasi
• alkohol 70%.......... 1 hari
• alkohol 80%........... 1 hari
• alkohol 90%........... 1 hari
• alkohol 95% .......... 1 hari
• alkohol 95% .......... 1 hari
• alkohol 100% ........ 1 hari
• alkohol 100% ........ .1 hari
Alkohol dapat dimurnikan kembali dengan cuprisulfat (CuSO4) Cuprisulfat -putih (tak mengandung air) akan berubah menjadi biru (mengandung air). Ganti cuprisulfat beberapa kali hingga warnanya tetap putih walaupun telah disimpan beberapa hari. Cuprisulfat yang telah bewarna biru karena mengandung air dapat di hilangkan airnya dengan cara memanaskan.
Proses Dehidrasi
Lamanya waktu tergantung pada :
Besar kecilnya jaringan
Konsentrasi jaringan
Macam zat fiksasi yang dipakai
Sifat clearing agent yang dipakai
Proses Clearing
Syarat clearing agent harus melarutkan alkohol dan parafin
Clearing agent yang biasa dipakai :
Xylene.
Benzene
Toluen
Chloroform
EMBEDDING
Embedding adalah Proses memasukkan jaringan ke dlm parafin cair untuk dibuat blok yg padat
Meliputi :
q Impregnation
q Blocking
q Trimming
Proses Embedding
Impregnation.
proses penggantian larutan toluen dengan parafin cair
Blocking.
Memasukkan jaringan ke dalam parafin cair - dipadatkan (menurunkan suhu parafin)-dicetak
Trimming.
Meratakan/merapikan jaringan yg telah diblock parafin dengan menggunakan pisau atau langsung dengan mikrotome, sehingga pada saat pemotongan didapatkan potongan bentuk jaringan yang baik
Proses
SECTIONING / CUTTING
Sectioning adalah proses pemotongan jar dengan mikrotom-ukuran sangat tipis 4-10 µ-tembus cahaya saat diperiksa dg mikroskop
Diperhatikan :
• Pisau harus tajam
• Blok jaringan harus dingin
• Ketebalan pemotongan harus disesuaikan dengan jenis jaringan
Proses Sectioning
Dinginkan pada lemari es / cold plate - akan terlepas dari cetakan bloknya dan tempatkan pada hold mikrotome untuk dipotong (ketebalan 3 – 5 µ) -membentuk lembaran pita
MOUNTING
Menempelkan potongan jaringan yg baik ke obyek glass
Proses Mounting
} Obyek glass diberi albumin agar Jar menempel dg baik
} Dimasukkan ke dalam water bath suhu 30 0C - lembaran pita tidak melipat
} Bila sudah menempel dikeringkan/ diriskan (Bisa dg Hot Plate)
} Stretching tissue in warm water.
Staining
mewarnai preparat
Staining
Macam pewarnaan berdasarkan asal zat warna :
Natural Dyes,
Acid Carmine : ekstrak serangga betina yang hidup di pohon kaktus di daerah tropis.
Hematoxyline : getah pohon Haematoxylinecampechianum
Syntetic Dyes
Benzene, Quinone, Anilline.
Staining
Prinsip Kerja Pewarnaan :
• Secara umum zat warna yang bersifat asam akan mewarnai bagian sel yang bersifat basa dan sebaliknya
• cat netral (gugus asam dan gugus basa keduanya berwarna) Misal :
• Romanowsky ,(Camp methylen Blue & Eosin)
Staining
Berdasarkan waktu :
• Direct Staining, molekul zat warna langsung ditangkap oleh jaringan, misalnya Eosin
• Indirect Staining, molekul zat warna baru bisa ditangkap oleh jaringan jika menggunakan zat perantara yang disebut Mordant, misalnya Haematoxyline menggunakan Potasium Alum sebagai mordantnya.
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Menggunakan 2 macam zat warna yaitu
q Hematoksilin -memulas inti sel dan memberikan warna biru (basofilik)
q Eosin yang merupakan counterstaining hematoksilin, memulas sitoplasma sel dan jaringan penyambung dan memberikan warna merah muda dengan nuansa yang berbeda.
Interpretasi hasil :
P Inti sel bewarna biru
P Sitoplasma bewarna kemerahan dengan adanya beberapa variasi warna pada komponen tertentu
Sumber :
http://www.infoanaliskesehatan.info/category/sitohistoteknologi.html
http://analismuslim.blogspot.com/2012/01/teknik-histologi.html
Aktivitas enzimatis mikroorganisme
Aktivitas enzimatis mikroorganisme :
a. Uji aktivitas eksoenzim :
Ø Uji amilolitik
Ø Uji lipolitik
Ø Uji proteolitik
b. Uji aktivitas endoenzim :
Ø Uji oksidase
Ø Uji katalase
Ø Uji Triple Sugar Iron Agar
Uji Amilolitik
Amilum adalah senyawa yang memiliki berat molekul tinggi, terdiri atas polimer glukosa yang bercabang-cabang yang diikat dengan ikatan glikosidik. Degradasi amilum membutuhkan enzim amilase yang akan memecah/menghidrolisis menjadi polisakarida yang lebih pendek (dextrin), dan selanjutnya menjadi maltosa. Hidrolisis akhir maltosa menghasilkan glukosa terlarut yang dapat ditransport masuk ke dalam sel. Indikator yang dipakai pada uji amilolitik adalah iodine. Amilum akan bereaksi dengan iodine membentuk warna biru hitam yang terlihat pada media.
Prosedur di bawah ini menunjukkan aktivitas amilase. NA yang tersuspensi pati digunakan sebagai media. Indikator yang dipakai adalah iodine. Amilum akan bereaksi dengan iodine membentuk komplex warna biru hitam yang terlihat pada media. Warna biru hitam terjadi jika iodine masuk ke dalam bagian kosong pada amilum yang berbentuk spiral.
Cara Kerja :
• Inokulasi Nutrient Agar yang mengandung pati (2 g/l) dengan E.coli dan Bacillus sp. secara streak.
• Inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC
• Setelah selesai inkubasi, tetesi cawan dengan lugol’s iodine secukupnya sehingga seluruh permukaan media terkena.
• Hidrolisis zat pati terlihat sebagai zona jernih di sekeliling koloni, sedangkan hasil negatif ditunjukkan warna sekitar koloni tetap biru hitam.
Uji Lipolitik
Lipid misalnya trigliserida merupakan sumber energi bagi sejumlah mikroorganisma. Untuk mendapatkan energi dari lipid, mikroba menghasilkan enzim lipase dan esterase yang memecah ikatan ester menghasilkan gliserol dan asam lemak.
Terdapat berbagai macam prosedur untuk mengetahui aktivitas lipase diantaranya adalah dengan menggunakan media Trybutirin Agar, Rodhamine Agar dan Spirit Blue Agar. Pada prinsipnya metode-metode di atas menggunakan indikator yang mampu mendeteksi keberadaan asam lemak yang terbentuk akibat hidrolisis lemak.
Cara Kerja :
• Inokulasikan Bacillus sp. dan E. coli pada media Tributyrin Agar dengan indikator neutral red
• Inkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam.
• Reaksi positif ditandai oleh bercak-bercak kuning disekeliling koloni, sedangkan reaksi negatif ditandai oleh bercak-bercak yang tetap berwarna merah.
Uji proteolitik
Uji proteolitik ditujukan untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme menghasilkan enzim protease. Pada praktikum ini protein yang digunakan dalam bentuk kasein susu. Hidrolisis kasein secara bertahap akan menghasilkan monomernya berupa asam amino. Proses ini dinamakan peptonisasi atau proteolisis
Cara Kerja :
• Inokulasikan Bacillus sp. Dan E. coli pada Skim Milk Agar (SMA)
• Inkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam.
• Aktivitas proteolitik ditunjukkan oleh terbentuknya zone jernih di sekeliling koloni.
Uji Oksidase
Enzim oksidase memegang peranan penting dalam transport elektron selama respirasi aerobik. Sitokrom oksidase mengkatalisis oksidasi dan reduksi sitokrom oleh molekul oksigen. Enzim oksidase dihasilkan oleh bakteri aerob, fakultatif anaerob, dan mikroaerofilik. Mikroorganisme ini menggunakan oksigen, sebagai akseptor elektron terakhir selama penguraian karbohidrat untuk menghsilkan energi. Kemampuan bakteri memproduksi sitokrom oksidase dapat diketahui dari reaksi yang ditimbulkan setelah pemberian reagen oksidase pada koloni bakteri. Enzim ini merupakan bagian dari kompleks enzim yang berperan dalam proses fosforilasi oksidatif. Reagen yang digunakan adalah tetramethyl-D-phenylenediaminedihydrocloride. Reagen akan mendonorkan elektron terhadap enzim ini sehingga akan teroksidasi membentuk senyawa yang berwarna biru kehitaman. Positif tertunda (warna biru muncul antara 10-60 detik setelah ditetesi) menandakan bahwa bakteri uji memiliki sedikit enzim. Tidak adanya perubahan warna mengindikasikan bahwa uji yang dilakukan negatif.
Cara Kerja :
• Koloni bakteri diambil satu tetes (sebaiknya dari biakan cair) secara aseptis dan diinokulasikan padaObject glass.
• Diatas object glass diberi kertas merang yang sehingga tetesan tersebar pada kertas.
• Tetesi dengan reagen, lalu lihat perubahan yang terjadi
• Jika warna berubah menjadi biru marun maka hasil uji positif, sedangkan bila tidak terjadi perubahan maka hasil uji negatif. Hasil uji positif tertunda jika warna biru muncul antara 10-60 detik setelah ditetesi.
Uji Katalase
Selama respirasi aerobik (proses fosforilasi oksidatif), mikroorganisme menghasilkan hidrogen peroksida, bahkan ada yang menghasilkan superoksida yang sangat beracun. Senyawa ini dalam jumlah besar akan menyebabkan kematian pada mikroorganisme. Senyawa ini dihasilkan oleh mikroorganisme aerobik, fakultatif aerob maupun mikroaerofilik yang menggunakan jalur respirasi aerobik.
Superoksida dismutase adalah enzim yang bertanggung jawab untuk penguraian khususnya superoksida pada organisme aerob yang bersifat katalase negatif. Produksi katalase bisa diidentifikasi dengan menanmbahkan reagen H2O2 pada suspensi bakteri. Jika dihasilkan gelembung gas, berarti bakteri tersebut mampu memproduksi enzim katalase. Jika tidak dihasilkan gelembung gas berarti uji katalase dinyatakan negatif.
Cara Kerja :
• Koloni bakteri diambil satu ose secara aseptis dan diinokulasikan pada Object glass.
• Dengan menggunakan pipet tetes, 3% H2O2 diteteskan pada Object glass secukupnya.
• Amati adanya gelembung untuk hasil positif dan tidak ada gelembung untuk hasil negatif (hati-hati membedakan antara gelembung yang muncul dari sel dengan kumpulan sel yang mengambang akibat ditambahi reagen).
Uji Triple Sugar Iron Agar
TSIA adalah uji yang dirancang untuk membedakan beberapa jenis bakteri yang termasuk kelompok Enterobacteriaceae, yang bersifat gram negatif dan memfermentasikan glukosa membentuk asam sehingga dapat dibedakan dengan bakteri gram negatif intestinal lain. Perbedaan ini didasarkan pada pola fermentasi karbohidrat dan produksi H2S pada tabung reaksi. Untuk mengamati fermentasi karbohidrat, media TSIA mengandung laktosa dan sukrosa dengan konsentrasi 1%, dan mengandung glukosa dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu 0,1%. Konsentrasi ini akan berpengaruh terhadap penggunaan karbohidrat dan keadaan asam yang terbentuk. Indikator pH (Phenol Red) ditambahkan untuk menunjukkan adanya perubahan pH akibat fermentasi karbohidrat. Perubahan warna menjadi kuning menandakan asam, sedangkan warna menjadi lebih merah menendakan media menjadi basa. Warna media mula-mula adalah merah-orange. Selain itu ditambahkan FeSO4 untuk mendeteksi adanya gas H2S.
Cara kerja :
• Inokulasikan biakan pada media TSIA dengan cara inokulasi tusuk kemudian dilanjutkan dengan diulaskan lurus tegak pada agar miring (lihat gambar).
• Inkubasi pada 37oC selama 24-48 jam.
• Interpretasikan hasil dengan melihat keterangan dibawah ini.
= slant dan butt merah (alkali) atau tidak terjadi perubahan warna à tidak terjadi fermentasi karbohidrat, sedangkan pepton yang ada digunakan untuk sumber energi dalam keadaan aerob atau anaerob sehingga meningkatkan pH karena produksi amonia meningkat sebagai hasil samping metabolisme protein. Jika kemerahan lebih pekat pada slant maka terjadi degradasi aerobikpeptone, sedangkan warna merah pekat tampak di semua media maka interpretasinya adalah degradasi peptone secara aerob maupun anaerob.
= slant merah (alkali) sedangkan butt kuning (asam) dengan atau tanpa produksi gas à hanya terjadi fermentasi glukosa, sedangkan fermentasi laktosa dan sukrosa tidak terjadi. Sel lebih memilih untuk mendegradasi glukosa terlebih dahulu karena glukosa adalah monosakarida yang dapat langsung massuk ke dalam jalur metabolisme (glikolisis). Media mengandung glukosa yang sangat sedikit (lebih sedikit dibanding laktosa dan sukrosa) sehingga jumlah asam pada permukaan (slant) hilang secara cepat menjadi basa, karena pada mulanya bagian slant telah menjadi kuning tapi dalam waktu lebih dari 24 jam sel akan kehabisan glukosa dan memilih untuk memanfaatkan protein sehingga media menjadi merah.
= slant dan butt kuning (asam) dengan atau tidak adanya gas à telah terjadifermentasi glukosa, laktosa dan atau sukrosa karena laktosa dan sukrosa memiliki konsentrasi yang lebih tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk substrat fermentasi lanjutan (jika glukosa habis) menghasilkan asam yang ditandai warna kuning setelah 24 jam.
= butt berwarna kehitaman à adanya H2S yang bereaksi dengan senyawa besi FeSO4 pada media menghasilkan FeS yang berwarna kehitam-hitaman. H2S ini merupakan hasil dari metabolisme protein
media pecah atau terangkat à timbul gas sebagai hasil samping fermentasi
http://science-query.com/tag/pada-media-tsia/
a. Uji aktivitas eksoenzim :
Ø Uji amilolitik
Ø Uji lipolitik
Ø Uji proteolitik
b. Uji aktivitas endoenzim :
Ø Uji oksidase
Ø Uji katalase
Ø Uji Triple Sugar Iron Agar
Uji Amilolitik
Amilum adalah senyawa yang memiliki berat molekul tinggi, terdiri atas polimer glukosa yang bercabang-cabang yang diikat dengan ikatan glikosidik. Degradasi amilum membutuhkan enzim amilase yang akan memecah/menghidrolisis menjadi polisakarida yang lebih pendek (dextrin), dan selanjutnya menjadi maltosa. Hidrolisis akhir maltosa menghasilkan glukosa terlarut yang dapat ditransport masuk ke dalam sel. Indikator yang dipakai pada uji amilolitik adalah iodine. Amilum akan bereaksi dengan iodine membentuk warna biru hitam yang terlihat pada media.
Prosedur di bawah ini menunjukkan aktivitas amilase. NA yang tersuspensi pati digunakan sebagai media. Indikator yang dipakai adalah iodine. Amilum akan bereaksi dengan iodine membentuk komplex warna biru hitam yang terlihat pada media. Warna biru hitam terjadi jika iodine masuk ke dalam bagian kosong pada amilum yang berbentuk spiral.
Cara Kerja :
• Inokulasi Nutrient Agar yang mengandung pati (2 g/l) dengan E.coli dan Bacillus sp. secara streak.
• Inkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC
• Setelah selesai inkubasi, tetesi cawan dengan lugol’s iodine secukupnya sehingga seluruh permukaan media terkena.
• Hidrolisis zat pati terlihat sebagai zona jernih di sekeliling koloni, sedangkan hasil negatif ditunjukkan warna sekitar koloni tetap biru hitam.
Uji Lipolitik
Lipid misalnya trigliserida merupakan sumber energi bagi sejumlah mikroorganisma. Untuk mendapatkan energi dari lipid, mikroba menghasilkan enzim lipase dan esterase yang memecah ikatan ester menghasilkan gliserol dan asam lemak.
Terdapat berbagai macam prosedur untuk mengetahui aktivitas lipase diantaranya adalah dengan menggunakan media Trybutirin Agar, Rodhamine Agar dan Spirit Blue Agar. Pada prinsipnya metode-metode di atas menggunakan indikator yang mampu mendeteksi keberadaan asam lemak yang terbentuk akibat hidrolisis lemak.
Cara Kerja :
• Inokulasikan Bacillus sp. dan E. coli pada media Tributyrin Agar dengan indikator neutral red
• Inkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam.
• Reaksi positif ditandai oleh bercak-bercak kuning disekeliling koloni, sedangkan reaksi negatif ditandai oleh bercak-bercak yang tetap berwarna merah.
Uji proteolitik
Uji proteolitik ditujukan untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme menghasilkan enzim protease. Pada praktikum ini protein yang digunakan dalam bentuk kasein susu. Hidrolisis kasein secara bertahap akan menghasilkan monomernya berupa asam amino. Proses ini dinamakan peptonisasi atau proteolisis
Cara Kerja :
• Inokulasikan Bacillus sp. Dan E. coli pada Skim Milk Agar (SMA)
• Inkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam.
• Aktivitas proteolitik ditunjukkan oleh terbentuknya zone jernih di sekeliling koloni.
Uji Oksidase
Enzim oksidase memegang peranan penting dalam transport elektron selama respirasi aerobik. Sitokrom oksidase mengkatalisis oksidasi dan reduksi sitokrom oleh molekul oksigen. Enzim oksidase dihasilkan oleh bakteri aerob, fakultatif anaerob, dan mikroaerofilik. Mikroorganisme ini menggunakan oksigen, sebagai akseptor elektron terakhir selama penguraian karbohidrat untuk menghsilkan energi. Kemampuan bakteri memproduksi sitokrom oksidase dapat diketahui dari reaksi yang ditimbulkan setelah pemberian reagen oksidase pada koloni bakteri. Enzim ini merupakan bagian dari kompleks enzim yang berperan dalam proses fosforilasi oksidatif. Reagen yang digunakan adalah tetramethyl-D-phenylenediaminedihydrocloride. Reagen akan mendonorkan elektron terhadap enzim ini sehingga akan teroksidasi membentuk senyawa yang berwarna biru kehitaman. Positif tertunda (warna biru muncul antara 10-60 detik setelah ditetesi) menandakan bahwa bakteri uji memiliki sedikit enzim. Tidak adanya perubahan warna mengindikasikan bahwa uji yang dilakukan negatif.
Cara Kerja :
• Koloni bakteri diambil satu tetes (sebaiknya dari biakan cair) secara aseptis dan diinokulasikan padaObject glass.
• Diatas object glass diberi kertas merang yang sehingga tetesan tersebar pada kertas.
• Tetesi dengan reagen, lalu lihat perubahan yang terjadi
• Jika warna berubah menjadi biru marun maka hasil uji positif, sedangkan bila tidak terjadi perubahan maka hasil uji negatif. Hasil uji positif tertunda jika warna biru muncul antara 10-60 detik setelah ditetesi.
Uji Katalase
Selama respirasi aerobik (proses fosforilasi oksidatif), mikroorganisme menghasilkan hidrogen peroksida, bahkan ada yang menghasilkan superoksida yang sangat beracun. Senyawa ini dalam jumlah besar akan menyebabkan kematian pada mikroorganisme. Senyawa ini dihasilkan oleh mikroorganisme aerobik, fakultatif aerob maupun mikroaerofilik yang menggunakan jalur respirasi aerobik.
Superoksida dismutase adalah enzim yang bertanggung jawab untuk penguraian khususnya superoksida pada organisme aerob yang bersifat katalase negatif. Produksi katalase bisa diidentifikasi dengan menanmbahkan reagen H2O2 pada suspensi bakteri. Jika dihasilkan gelembung gas, berarti bakteri tersebut mampu memproduksi enzim katalase. Jika tidak dihasilkan gelembung gas berarti uji katalase dinyatakan negatif.
Cara Kerja :
• Koloni bakteri diambil satu ose secara aseptis dan diinokulasikan pada Object glass.
• Dengan menggunakan pipet tetes, 3% H2O2 diteteskan pada Object glass secukupnya.
• Amati adanya gelembung untuk hasil positif dan tidak ada gelembung untuk hasil negatif (hati-hati membedakan antara gelembung yang muncul dari sel dengan kumpulan sel yang mengambang akibat ditambahi reagen).
Uji Triple Sugar Iron Agar
TSIA adalah uji yang dirancang untuk membedakan beberapa jenis bakteri yang termasuk kelompok Enterobacteriaceae, yang bersifat gram negatif dan memfermentasikan glukosa membentuk asam sehingga dapat dibedakan dengan bakteri gram negatif intestinal lain. Perbedaan ini didasarkan pada pola fermentasi karbohidrat dan produksi H2S pada tabung reaksi. Untuk mengamati fermentasi karbohidrat, media TSIA mengandung laktosa dan sukrosa dengan konsentrasi 1%, dan mengandung glukosa dengan konsentrasi yang lebih rendah yaitu 0,1%. Konsentrasi ini akan berpengaruh terhadap penggunaan karbohidrat dan keadaan asam yang terbentuk. Indikator pH (Phenol Red) ditambahkan untuk menunjukkan adanya perubahan pH akibat fermentasi karbohidrat. Perubahan warna menjadi kuning menandakan asam, sedangkan warna menjadi lebih merah menendakan media menjadi basa. Warna media mula-mula adalah merah-orange. Selain itu ditambahkan FeSO4 untuk mendeteksi adanya gas H2S.
Cara kerja :
• Inokulasikan biakan pada media TSIA dengan cara inokulasi tusuk kemudian dilanjutkan dengan diulaskan lurus tegak pada agar miring (lihat gambar).
• Inkubasi pada 37oC selama 24-48 jam.
• Interpretasikan hasil dengan melihat keterangan dibawah ini.
= slant dan butt merah (alkali) atau tidak terjadi perubahan warna à tidak terjadi fermentasi karbohidrat, sedangkan pepton yang ada digunakan untuk sumber energi dalam keadaan aerob atau anaerob sehingga meningkatkan pH karena produksi amonia meningkat sebagai hasil samping metabolisme protein. Jika kemerahan lebih pekat pada slant maka terjadi degradasi aerobikpeptone, sedangkan warna merah pekat tampak di semua media maka interpretasinya adalah degradasi peptone secara aerob maupun anaerob.
= slant merah (alkali) sedangkan butt kuning (asam) dengan atau tanpa produksi gas à hanya terjadi fermentasi glukosa, sedangkan fermentasi laktosa dan sukrosa tidak terjadi. Sel lebih memilih untuk mendegradasi glukosa terlebih dahulu karena glukosa adalah monosakarida yang dapat langsung massuk ke dalam jalur metabolisme (glikolisis). Media mengandung glukosa yang sangat sedikit (lebih sedikit dibanding laktosa dan sukrosa) sehingga jumlah asam pada permukaan (slant) hilang secara cepat menjadi basa, karena pada mulanya bagian slant telah menjadi kuning tapi dalam waktu lebih dari 24 jam sel akan kehabisan glukosa dan memilih untuk memanfaatkan protein sehingga media menjadi merah.
= slant dan butt kuning (asam) dengan atau tidak adanya gas à telah terjadifermentasi glukosa, laktosa dan atau sukrosa karena laktosa dan sukrosa memiliki konsentrasi yang lebih tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk substrat fermentasi lanjutan (jika glukosa habis) menghasilkan asam yang ditandai warna kuning setelah 24 jam.
= butt berwarna kehitaman à adanya H2S yang bereaksi dengan senyawa besi FeSO4 pada media menghasilkan FeS yang berwarna kehitam-hitaman. H2S ini merupakan hasil dari metabolisme protein
media pecah atau terangkat à timbul gas sebagai hasil samping fermentasi
http://science-query.com/tag/pada-media-tsia/
Uji Biokimia Bakteri Gram (-) Batang
Metabolisme merupakan reaksi-reaksi kimia yang terjadi pada makhluk hidup. Proses metabolisme dibedakan menjadi dua jenis yaitu anabolisme dan katabolisme. Anabolisme (Biosintesis) yaitu reaksi biokimia yang merakit molekul-molekul sederhana menjadi molekul-molekul yang lebih kompleks. Misalnya pembentukkan protein dari asam amino. Secara umum proses anabolik membutuhkan energi. Sedangkan katabolisme yaitu reaksi biokimia yang memecah atau menguraikan molekul-molekul kompleks menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Proses katabolik melepaskan energi yang dibutuhkan oleh sel(Waluyo, 2004).
Aktivitas metabolisme tidak terlepas dari adanya enzim. Berdasarkan tempat bekerjanya, bakteri memiliki juga jenis enzim yaitu endoenzim dan eksoenzim. Endoenzim yaitu enzim yang berkerja dalam sel. Sistem endoenzim selain bersifat anabolik dapat juga bersifat katabolik.sedangkan eksoenzim yaitu enzim yang disekresikan ke luar sel dan berdifusi ke dalam media. Sebagian besar eksoenzim bersifat hidroliktik, yang berarti bahwa eksoenzim menguraikan molekul kompleks menjadi molekul yang molekul-molekul yang lebih sederhana. Molekul-molekul yang lebih kecil ini kemudian dapat memasuki sel dan digunakan untuk kepentingan sel(Waluyo, 2004).
Sifat metabolisme bakteri dalam uji biokimia biasanya dilihat dari interaksi metabolit-metabolit yang dihasilkan dengan reagen-reagen kimia. Selain itu dilihat kemampuannya menggunakan senyawa tertentu sebagai sumber karbon dan sumber energi (Waluyo, 2004).
E. coli adalah suatu bakteri gram negative berbentuk batang, bersifat anaerobic fakultatif, dan mempunyai flagella peritrikat. E. coli dibedakan atas sifat serologinya berdasarkan antigen o (somatic), K (kapsul) dan H (flagella) (Fardiaz,1992)
Medium selektif yang dapat digunakan untuk mengisolasi E.coli misalnya DHL (Desoxycholate Hydrogen Sulfide Lactose) agar atau MacConkey Agar. Koloni E.coli pada DHL dan MacConkey Agar berwarna merah dan dikelilingi oleh areal yang menunjukkan pengendapan bile. E.coli akan menfermentasi laktosa di dalam medium menjadi asam, sehingga mengakibatkan terjadinya pengendapan bile dan penyerapan indikator merah netral(Fardiaz,1992)
Uji-uji biokimia yang dilakukan terhadap E. coli termasuk karakteristik pertumbuhan pada agar TSI (Triple Sugar Iron) dan agar SIM (Sulfite Indole Motility) atau LIM (Lysine Indole Motility). Uji-uji biokimia ditujukan untuk menunjukkan E.coli dan bakteri-bakteri lainnya yang mempunyai sifat-sifat hamper sama, yaitu Klebsiella danEnterobacter (Fardiaz,1992)
Berikut beberapa uji Biokimia yang digunakan untuk identifikasi bakteri antara lain :
a. Indol
Media ini biasanya digunakan dalam indetifikasi yang cepat. Hasil uji indol yang diperoleh negatif karena tidak terbentuk lapisan (cincin) berwarna merah muda pada permukaan biakan, artinya bakteri ini tidak membentuk indol dari tryptopan sebagai sumber carbon, yang dapat diketahui dengan menambahkan larutan kovacs. Asam amino triptofan merupakan komponen asam amino yang lazim terdapat pada protein, sehingga asam amino ini dengan mudah dapat digunakan oleh mikroorganisme akibat penguraian protein(Anonim, 2008)
b. MR-VP
1. Uji MR
Hasilnya positif, terjadi perubahan warna menjadi merah setelah ditambahkan methyl red. Artinya, bakteri ini mengahasilkan asam campuran (metilen glikon) dari proses fermentasi glukosa yang terkandung dalam medium MR-VP. Terbentuknya asam campuran pada media akan menurunkan pH sampai 5,0 atau kurang, oleh karena itu bila indikator metil ditambahkan pada biakan tersebut dengan pH seredndah itu maka indikator tersebut menjkadi merah. Hal ini menandakan bahwa bakteri ini peragi asam campuran(Anonim, 2008)
2. Uji VP
Hasilnya negatif, karena tidak terbentuk warna merah pada medium setelah ditambahkan α-napthol dan KOH, artinya hasil akhir fermentasi bakteri ini bukan asetil metil karbinol (asetolin) (Anonim, 2008)
c. SIM
Hasil yang diperoleh pada uji ini adalah positif, hal ini terlihat adanya penyebaran yang berwarna putih seperti akar disekitar inokulasi. Hal ini menunjukan adanya pergerakan dari bakteri yang diinokulasikan, yang berarti bahwa bakteri ini memiliki flagella. Dari uji juga terlihat ada warna hitam, yang berarti bakteri ini menghasilkan Hidrogen Sulfit (H2S) (Anonim, 2008)
d. Simmons Citrate
Hasil uji sitrat yang diperoleh negatif, yang ditandai dengan tidak terjadinya perubahan warna. Artinya bakteri ini tidak mempunyai enzim sitrat permiase yaitu enzim spesifik yang membawa sitrat ke dalam sel(Anonim, 2008)
e. TSIA
• Pada uji TSIA warna media slant berubah menjadi merah karena bakteri bersifat basa ini menandakan bahwa bakteri ini tidak memfermentasi laktosa dan sukrosa(Anonim, 2008)
• Pembentukan gas positif ini hasil dari fermentasi H2 dan Co2 dapat dilihat dari pecahnya dan terangkatnya agar. Pembentukan H2S positif ditandai dengan adanya endapan berwarna hitam, endapan ini terbentuk karena bakteri mampu mendesulfurasi asam amino dan methion yang akan menghasilkan H2S, dan H2S akan bereaksi dengan Fe++ yang terdapat pada media dan menghasilkan endapan hitam(Anonim, 2008)
• Pada media daerah butt media berubah berwarna kuning ini menandakan bakteri memfermentasi glukosa. Media ini biasanya digunakan untuk membedakan Salmonella dan Shigella dengan bakteri Gram negatif bentuk batang lainnya bedasarkan pola fermentasi penghasil hydrogen sulfide. Untuk pengamatan pola-pola pengunaan karbohidrat. TSIA agar mengadung laktosa dan sukrosa dalam konsentrasi 1%, glukosa 0,1% dan phenol red sebagai indicator yang menyebabkan perubahan warna dari merah orange menjadi kuning dalam suasana asam. TSIA juga mengandung natrium trisulfat, yaitu suatu substrat untuk penghasil H2S, ferro sulfat menghasilkan FeS (precipitat), bewarna hitam untuk membedakan bakteri H2S dengan bakteri-bakterinya(Anonim, 2008)
f. Uji gula-gula(Glukosa, Laktosa, Sukrosa dan Manitol)
Uji ini dilakukan untuk mengindetifikasi bakteri yang mampu memfermentasikan karbohidrat. Pada uji gula-gula hanya terjadi perubahan warna pada media glukosa yang berubah menjadi warna kuning, artinya bakteri ini membentuk asam dari fermentasi glukosa. Pada media glukosa juga terbentuk gelembung pada tabung durham yang diletakan terbalik didalam tabung media, artinya hasil fermentasi berbentuk gas(Anonim, 2008)
Perbedaan sifat-sifat E.coli, Klebsiella dan Enterobacter
Uji E.coli Klebsiella Enterobacter
TSI : Fermentasi Sukrosa dan laktosa.
Fermentasi glukosa
Produksi gas
Produksi H2S
LIM/SIM
Dekarboksilase lisin.
Produksi indol.
Motilitas
Produksi H2S.
(+)a
+
(+)
–
(–)
(+)
(+)
– +
+
(+)
–
+
(–)
–-
– +
+
+
(–)b
(+)
–
+
–
Ket : a(+), Kebanyakan Positif.
b(–), Kebanyakan Negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,2008: http://hafizluengdaneun.multiply.com/journal/item/1/Laporan_Koasistensi_Mikrobiologi_ Diakses hari selasa, Pukul 11.45, Samarinda
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Waluyo, L. 2004. Mikrobiologi Umum. Universitas Muhamadiyah Malang: Malang
Aktivitas metabolisme tidak terlepas dari adanya enzim. Berdasarkan tempat bekerjanya, bakteri memiliki juga jenis enzim yaitu endoenzim dan eksoenzim. Endoenzim yaitu enzim yang berkerja dalam sel. Sistem endoenzim selain bersifat anabolik dapat juga bersifat katabolik.sedangkan eksoenzim yaitu enzim yang disekresikan ke luar sel dan berdifusi ke dalam media. Sebagian besar eksoenzim bersifat hidroliktik, yang berarti bahwa eksoenzim menguraikan molekul kompleks menjadi molekul yang molekul-molekul yang lebih sederhana. Molekul-molekul yang lebih kecil ini kemudian dapat memasuki sel dan digunakan untuk kepentingan sel(Waluyo, 2004).
Sifat metabolisme bakteri dalam uji biokimia biasanya dilihat dari interaksi metabolit-metabolit yang dihasilkan dengan reagen-reagen kimia. Selain itu dilihat kemampuannya menggunakan senyawa tertentu sebagai sumber karbon dan sumber energi (Waluyo, 2004).
E. coli adalah suatu bakteri gram negative berbentuk batang, bersifat anaerobic fakultatif, dan mempunyai flagella peritrikat. E. coli dibedakan atas sifat serologinya berdasarkan antigen o (somatic), K (kapsul) dan H (flagella) (Fardiaz,1992)
Medium selektif yang dapat digunakan untuk mengisolasi E.coli misalnya DHL (Desoxycholate Hydrogen Sulfide Lactose) agar atau MacConkey Agar. Koloni E.coli pada DHL dan MacConkey Agar berwarna merah dan dikelilingi oleh areal yang menunjukkan pengendapan bile. E.coli akan menfermentasi laktosa di dalam medium menjadi asam, sehingga mengakibatkan terjadinya pengendapan bile dan penyerapan indikator merah netral(Fardiaz,1992)
Uji-uji biokimia yang dilakukan terhadap E. coli termasuk karakteristik pertumbuhan pada agar TSI (Triple Sugar Iron) dan agar SIM (Sulfite Indole Motility) atau LIM (Lysine Indole Motility). Uji-uji biokimia ditujukan untuk menunjukkan E.coli dan bakteri-bakteri lainnya yang mempunyai sifat-sifat hamper sama, yaitu Klebsiella danEnterobacter (Fardiaz,1992)
Berikut beberapa uji Biokimia yang digunakan untuk identifikasi bakteri antara lain :
a. Indol
Media ini biasanya digunakan dalam indetifikasi yang cepat. Hasil uji indol yang diperoleh negatif karena tidak terbentuk lapisan (cincin) berwarna merah muda pada permukaan biakan, artinya bakteri ini tidak membentuk indol dari tryptopan sebagai sumber carbon, yang dapat diketahui dengan menambahkan larutan kovacs. Asam amino triptofan merupakan komponen asam amino yang lazim terdapat pada protein, sehingga asam amino ini dengan mudah dapat digunakan oleh mikroorganisme akibat penguraian protein(Anonim, 2008)
b. MR-VP
1. Uji MR
Hasilnya positif, terjadi perubahan warna menjadi merah setelah ditambahkan methyl red. Artinya, bakteri ini mengahasilkan asam campuran (metilen glikon) dari proses fermentasi glukosa yang terkandung dalam medium MR-VP. Terbentuknya asam campuran pada media akan menurunkan pH sampai 5,0 atau kurang, oleh karena itu bila indikator metil ditambahkan pada biakan tersebut dengan pH seredndah itu maka indikator tersebut menjkadi merah. Hal ini menandakan bahwa bakteri ini peragi asam campuran(Anonim, 2008)
2. Uji VP
Hasilnya negatif, karena tidak terbentuk warna merah pada medium setelah ditambahkan α-napthol dan KOH, artinya hasil akhir fermentasi bakteri ini bukan asetil metil karbinol (asetolin) (Anonim, 2008)
c. SIM
Hasil yang diperoleh pada uji ini adalah positif, hal ini terlihat adanya penyebaran yang berwarna putih seperti akar disekitar inokulasi. Hal ini menunjukan adanya pergerakan dari bakteri yang diinokulasikan, yang berarti bahwa bakteri ini memiliki flagella. Dari uji juga terlihat ada warna hitam, yang berarti bakteri ini menghasilkan Hidrogen Sulfit (H2S) (Anonim, 2008)
d. Simmons Citrate
Hasil uji sitrat yang diperoleh negatif, yang ditandai dengan tidak terjadinya perubahan warna. Artinya bakteri ini tidak mempunyai enzim sitrat permiase yaitu enzim spesifik yang membawa sitrat ke dalam sel(Anonim, 2008)
e. TSIA
• Pada uji TSIA warna media slant berubah menjadi merah karena bakteri bersifat basa ini menandakan bahwa bakteri ini tidak memfermentasi laktosa dan sukrosa(Anonim, 2008)
• Pembentukan gas positif ini hasil dari fermentasi H2 dan Co2 dapat dilihat dari pecahnya dan terangkatnya agar. Pembentukan H2S positif ditandai dengan adanya endapan berwarna hitam, endapan ini terbentuk karena bakteri mampu mendesulfurasi asam amino dan methion yang akan menghasilkan H2S, dan H2S akan bereaksi dengan Fe++ yang terdapat pada media dan menghasilkan endapan hitam(Anonim, 2008)
• Pada media daerah butt media berubah berwarna kuning ini menandakan bakteri memfermentasi glukosa. Media ini biasanya digunakan untuk membedakan Salmonella dan Shigella dengan bakteri Gram negatif bentuk batang lainnya bedasarkan pola fermentasi penghasil hydrogen sulfide. Untuk pengamatan pola-pola pengunaan karbohidrat. TSIA agar mengadung laktosa dan sukrosa dalam konsentrasi 1%, glukosa 0,1% dan phenol red sebagai indicator yang menyebabkan perubahan warna dari merah orange menjadi kuning dalam suasana asam. TSIA juga mengandung natrium trisulfat, yaitu suatu substrat untuk penghasil H2S, ferro sulfat menghasilkan FeS (precipitat), bewarna hitam untuk membedakan bakteri H2S dengan bakteri-bakterinya(Anonim, 2008)
f. Uji gula-gula(Glukosa, Laktosa, Sukrosa dan Manitol)
Uji ini dilakukan untuk mengindetifikasi bakteri yang mampu memfermentasikan karbohidrat. Pada uji gula-gula hanya terjadi perubahan warna pada media glukosa yang berubah menjadi warna kuning, artinya bakteri ini membentuk asam dari fermentasi glukosa. Pada media glukosa juga terbentuk gelembung pada tabung durham yang diletakan terbalik didalam tabung media, artinya hasil fermentasi berbentuk gas(Anonim, 2008)
Perbedaan sifat-sifat E.coli, Klebsiella dan Enterobacter
Uji E.coli Klebsiella Enterobacter
TSI : Fermentasi Sukrosa dan laktosa.
Fermentasi glukosa
Produksi gas
Produksi H2S
LIM/SIM
Dekarboksilase lisin.
Produksi indol.
Motilitas
Produksi H2S.
(+)a
+
(+)
–
(–)
(+)
(+)
– +
+
(+)
–
+
(–)
–-
– +
+
+
(–)b
(+)
–
+
–
Ket : a(+), Kebanyakan Positif.
b(–), Kebanyakan Negatif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,2008: http://hafizluengdaneun.multiply.com/journal/item/1/Laporan_Koasistensi_Mikrobiologi_ Diakses hari selasa, Pukul 11.45, Samarinda
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Waluyo, L. 2004. Mikrobiologi Umum. Universitas Muhamadiyah Malang: Malang
Kanker Mammae
Kanker Mammae
KANKER PAYUDARA
1. Kelenjar Payudara
Kelenjar payudara merupakan derivatif sel epitel. Struktur anatomi payudara secara garis besar tersusun dari jaringan lemak, lobus dan lobulus (setiap kelenjar terdiri dari 15-25 lobus) yang memproduksi cairan susu, serta ductus lactiferous yang berhubungan dengan glandula lobus dan lobulus yang berfungsi mengalirkan cairan susu, di samping itu juga terdapat jaringan penghubung (konektif), pembuluh darah dan limphe node (Hondermarck, 2003; Bergman et al., 1996). Lobulus dan duktus payudara sangat responsif terhadap estrogen karena sel epitel lobulus dan duktus mengekspresikan reseptor estrogen (ER) yang menstimulasi pertumbuhan, diferensiasi, perkembangan kelenjar payudara, dan mammogenesis (Van De Graaff and Fox, 1995).
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar payudara merupakan suatu seri peristiwa yang melibatkan interaksi berbagai macam tipe sel yang berbeda yang dimulai sejak kelahiran dan terus berlangsung di bawah pengaruh siklus menstruasi dan proses gestasi. Rangkaian peristiwa tersebut diatur oleh interaksi yang kompleks antara berbagai hormon steroid dan faktor pertumbuhan, baik dari sel yang berdekatan dengannya maupun dari komponen dalam lingkungan sel tersebut (faktor pertumbuhan). Stimulasi tersebut akan mempengaruhi perubahan morfologi dan metabolismenya. Kerentanan kelenjar payudara terhadap tumorigenesis dipengaruhi oleh perkembangan normal dari kelenjar itu sendiri yang dikarakterisasi dengan berbagai perubahan dalam proliferasi dan diferensiasi sel payudara (Guyton and Hall, 1996; Kumar, et al., 2000).
Penelitian menunjukkan bahwa sistem endokrin yang mengontrol perkembangan payudara mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara. Keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi dan kematian sel-sel kelenjar payudara berperan penting dalam proses perkembangan tersebut. Gangguan dalam keseimbangan ini akan dapat mengakibatkan terjadinya kanker (Kumar et al., 2000). Beberapa faktor endokrin yang berkaitan dengan faktor risiko adalah obesitas, karena dalam keadaan obesitas terdapat peningkatan produksi estrogen jaringan adipase payudara; peningkatan kadar estrogen endogen dalam darah; kadar androstenedion dan testosteron dalam darah yang lebih tinggi dari normal yang bisa diubah menjadi estrogen estron dan kemudian estradiol; peningkatan kadar estrogen dan androgen dalam urin.
Estrogen merupakan suatu hormon steroid yang memberikan karakteristik seksual pada wanita, mempengaruhi berbagai organ dan jaringan di antaranya terlibat pada regulasi proliferasi sel dan diferensiasi baik pada wanita atau pria. Estrogen menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan sistem duktus yang luas, dan deposit lemak pada payudara (Guyton and Hall, 1996). Diduga paparan yang berlebihan dari estrogen endogen dalam fase kehidupan perempuan berkontribusi dan mungkin merupakan faktor penyebab terjadinya kanker payudara (Yager and Davidson, 2006).
2. Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai prevalensi cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria maupun wanita, hanya saja prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi. Diperkirakan pada tahun 2006 di Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian pada pria (Anonimc, 2006). Di Indonesia, kanker payudara menempati urutan ke dua setelah kanker leher rahim (Tjindarbumi, 1995). Kejadian kanker payudara di Indonesia sebesar 11% dari seluruh kejadian kanker (Siswono, 2003).
Pada umumnya tumor pada payudara bermula dari sel epitelial, sehingga kebanyakan kanker payudara dikelompokkan sebagai karsinoma (keganasan tumor epitelial). Sedangkan sarkoma, yaitu keganasan yang berangkat dari jaringan penghubung, jarang dijumpai pada payudara. Berdasarkan asal dan karakter histologinya kanker payudara dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu in situ karsinoma dan invasive karsinoma. Karsinoma in situ dikarakterisasi oleh lokalisasi sel tumor baik di duktus maupun di lobular, tanpa adanya invasi melalui membran basal menuju stroma di sekelilingnya. Sebaliknya pada invasive karsinoma, membran basal akan rusak sebagian atau secara keseluruhan dan sel kanker akan mampu menginvasi jaringan di sekitarnya menjadi sel metastatik (Hondermarck, 2003).
Kanker payudara pada umumnya berupa ductal breast cancer yang invasif dengan pertumbuhan tidak terlalu cepat (Tambunan, 2003). Kanker payudara sebagian besar (sekitar 70%) ditandai dengan adanya gumpalan yang biasanya terasa sakit pada payudara, juga adanya tanda lain yang lebih jarang yang berupa sakit pada bagian payudara, erosi, retraksi, pembesaran dan rasa gatal pada bagian puting, juga secara keseluruhan timbul kemerahan, pembesaran dan kemungkinan penyusutan payudara. Sedangkan pada masa metastasis dapat timbul gejala nyeri tulang, penyakit kuning atau bahkan pengurangan berat badan (Bosman, 1999). Sel kanker payudara dapat tumbuh menjadi benjolan sebesar 1 cm2 dalam waktu 8-12 tahun (Tambunan, 2003). Pada tumor yang ganas, benjolan ini besifat solid, keras, tidak beraturan, dan nonmobile. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi edema kulit, kemerahan, dan rasa panas pada jaringan payudara (Lindley dan Michaud, 2005).
Penyebab kanker payudara sangat beragam, tetapi ada sejumlah faktor risiko yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini yaitu asap rokok, konsumsi alkohol, umur pada saat menstruasi pertama, umur saat melahirkan pertama, lemak pada makanan, dan sejarah keluarga tentang ada tidaknya anggota keluarga yang menderita penyakit ini (Macdonald dan Ford,1997). Hormon tampaknya juga memegang peranan penting dalam terjadinya kanker payudara. Estradiol dan atau progresteron dalam daur normal menstruasi meningkatkan resiko kanker payudara. Hal ini terjadi pada kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen, dimana memang 50 % kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen (Gibbs, 2000).
Meskipun mekanisme molekuler yang mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara dan progresi dari penyakit ini belum dapat diketahui secara persis namun aktivasi onkogen yang disebabkan oleh modifikasi genetik (mutasi, amplifikasi atau penyusunan ulang kromosomal) atau oleh modifikasi epigenetik (ekspresi berlebihan) dilaporkan mampu mengarahkan pada terjadinya multiplikasi dan migrasi sel. Beberapa onkogen telah diketahui mempengaruhi karsinogenesis kanker payudara, diantaranya Ras, c-myc, epidermal growth factor receptor (EGFR, erb-B1), dan erb-B2 (HER-2/neu) (Greenwald, 2002). Perubahan ekspresi maupun fungsi dari gen supresor tumor seperti BRCA1, BRCA2 dan p53 tidak sepenuhnya bertanggungjawab dalam tingginya prevalensi kanker payudara spontan. Mutasi atau ketiadaan BRCA1 terdapat pada <10% kanker payudara, sementara itu mutasi p53 terjadi pada lebih dari 30% kanker payudara (Bouker et al., 2005).
Diperkirakan perkembangan tumor dari perubahan seluler pertama kali sampai kemudian terlihat melalui mammografi memerlukan waktu 6 sampai 8 tahun. Adanya perubahan sel kanker payudara menjadi sel yang ganas telah membentuk heterogenisitas dalam lingkungan di dalam sel. Selain itu, inflamasi lokal yang terjadi pada kasus kanker payudara mengindikasikan aktivitas sel sistem imun dan interaksinya dengan tumor (Hondermarck, 2003).
Deteksi kanker payudara dapat dilakukan dengan mammograms yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor secara dini. Stadium kanker payudara dapat diklasifikaskan berdasarkan diameter tumor, keterlibatan nodus lymphe, dan ada tidaknya jaringan yang terkena invasi metastasis kanker. Faktor prognostik pemeriksaan kanker payudara juga meliputi status nodus lymphe, kondisi dan diferensiasi tumor, dan kehadiran reseptor estrogen (Macdonald dan Ford, 1997).
Awalnya, proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi atau overekspresi beberapa protein, misalnya reseptor estrogen (ER) dan c-erbB-2 (HER2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles, 2001). Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen dan sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs, 2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalam metastasis, juga berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development). Estrogen berikatan dengan reseptor estrogen (ER) membentuk kompleks reseptor aktif dan mempengaruhi transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan dalam cell cycle progression, seperti Cyclin D1, CDK4 (cyclin-dependent kinases4), Cyclin E dan CDK2. Aktivasi reseptor estrogen juga berperan dalam aktivasi beberapa onkoprotein seperti Ras, Myc, dan CycD1 (Foster et al., 2001). Aktivasi protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan berlebih melalui aktivasi onkoprotein yang lain seperti PI3K, Akt, Raf dan ERK. Protein Myc merupakan protein faktor transkripsi yang penting untuk pertumbuhan, sedang CycD1 merupakan protein penting dalam kelangsungan cell cycle progression sehingga adanya aktivasi tersebut akan mengakibatkan perkembangan kanker yang dipercepat (Hanahan and Weinberg, 2000). Estrogen akan menstabilkan keberadaan protein Myc. Protein ini sendiri berfungsi dalam menghambat kemampuan CKIKIPI untuk menghambat Cdk2 (Foster et al., 2001), padahal komplek Cyclin E/Cdk2 bertanggung jawab pada proses transisi sel dari fase G1 memasuki fase S (Pan et al., 2002).
Selain itu, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan memacu transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2, dan p53. Akan tetapi pada penderita kanker payudara (yang umumnya telah lewat masa menopause) gen-gen tersebut telah mengalami perubahan akibat dari hiperproliferasi sel-sel payudara selama perkembangannya sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya (Adelmann dkk., 2000; Clarke, 2000). Gen BRCA 1 terletak pada kromosom 17q21, terdiri dari 22 ekson dan panjangnya kira-kira 100 kb. Gen ini merupakan tumor suppresor gene. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi gen ini sebesar 85 % dan pada wanita usia di bawah 50 tahun sebesar 50 %. Gen BRCA 2 mempunyai ukuran 70 kb dan terdiri dari 27 ekson, terletak pada kromosom 13q12. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi pada gen ini sebesar 80-90 % pada wanita. Gen p53 secara normal menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa yang terlibat dalam kontrol pertumbuhan sel. Terjadinya mutasi pada gen ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol (Gondhowiarjo, 2004). Hilangnya 4p, 4q dan 5q pada BRCA1 serta 7p dan 17q24 pada BRCA2 dapat digunakan untuk membedakan antara kanker payudara yang disebabkan faktor keturunan atau penyebab umum lainnya (Borg, 2005). Mutasi pada BRCA1 adalah delesi ekson 11 sedangkan pada BRCA2 adalah delesi ekson 12 dan 3 (Franks and Teich, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran BRCA1 dan BRCA2 diantaranya dapat menjaga kestabilan dan integritas genetik melalui kemampuannya untuk melakukan homolog rekombinasi. Protein tersebut terlibat pula dalam perbaikan kerusakan DNA akibat oksidasi melalui interaksinya dengan RAD50, RAD51, dan protein-protein lain yang merespon kerusakan DNA. Fungsi BRCA1 dalam perbaikan DNA berkaitan dengan protein GADD45 (Growth Arrest and DNA Damage) yang di-upregulasi ketika terjadi overekspresi BRCA1. Saat terjadi kerusakan DNA, BRCA1 akan terlepas dari pasangannya, yaitu CtIP (CtBP-Interacting Protein) sehingga BRCA1 dapat mengaktifkan GADD45 yang akan menjaga stabilitas genomik (Wickremasighe and Hoffbrand, 1999).
Salah satu model sel kanker payudara yang banyak digunakan dalam penelitian adalah sel MCF7 dan sel T47D. Sel MCF-7 adalah sel kanker payudara yang diperoleh dari pleural effusion breast adenocarcinoma seorang pasien wanita Kaukasian berumur 69 tahun, golongan darah O, dengan Rh positif. Sel menunjukkan adanya diferensiasi pada jaringan epitel mammae termasuk diferensiasi pada sintesis estradiol. Media dasar penumbuh sel MCF-7 adalah media EMEM terformulasi. Untuk memperoleh media kompleks, maka ditambahkan 0,01 mg/ml bovine insulin dan FBS hingga konsentrasi akhir FBS dalam media menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu 37C dan dengan kadar CO2 5%. Sel MCF-7 tergolong cell line adherent (ATCC, 2008b) yang mengekspresikan reseptor estrogen alfa (ER-α), resisten terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002), dan tidak mengekspresikan caspase-3 (Onuki dkk., 2003; Prunet dkk., 2005). Karakteristik tersebut membedakannya dengan sel kanker payudara lain, seperti sel T47D.
Sel kanker payudara T47D merupakan continous cell lines yang morfologinya seperti sel epitel yang diambil dari jaringan payudara seorang wanita berumur 54 tahun yang terkena ductal carcinoma. Sel ini dapat ditumbuhkan dengan media dasar penumbuh RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640. Untuk memperoleh media kompleks, maka ditambahkan 0,2 U/ml bovine insulin dan Foetal Bovine Serum (FBS) hingga konsentrasi akhir FBS dalam media menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu 37°C dengan kadar CO2 5%. Sel ini termasuk cell line adherent (ATCC, 2008a) yang mengekspresikan ER-β (Zampieri dkk., 2002) dibuktikan dengan adanya respon peningkatan proliferasi sebagai akibat pemaparan 17β-estradiol (Verma dkk., 1998). Sel ini memiliki doubling time 32 jam dan diklasifikasikan sebagai sel yang mudah mengalami diferensiasi karena memiliki reseptor estrogen + (Wozniak and Keely, 2005). Sel ini sensitif terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002) dan mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zinc binding domain L2) gen p53. Loop L2 ini berperan penting pada pengikatan DNA dan stabilisasi protein. Jika p53 tidak dapat berikatan dengan response element pada DNA, kemampuannya untuk regulasi cell cycle dapat berkurang atau hilang (Schafer et al., 2000). Pada sel tumor dengan mutasi p53, diketahui terjadi pengurangan respons terhadap agen-agen yang menginduksi apoptosis dan tumor-tumor tersebut kemungkinan menjadi resisten terhadap obat antineoplastik yang memiliki target pengrusakan DNA (Crawford, 2002).
Sumber : http://www.ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?page_id=885
KANKER PAYUDARA
1. Kelenjar Payudara
Kelenjar payudara merupakan derivatif sel epitel. Struktur anatomi payudara secara garis besar tersusun dari jaringan lemak, lobus dan lobulus (setiap kelenjar terdiri dari 15-25 lobus) yang memproduksi cairan susu, serta ductus lactiferous yang berhubungan dengan glandula lobus dan lobulus yang berfungsi mengalirkan cairan susu, di samping itu juga terdapat jaringan penghubung (konektif), pembuluh darah dan limphe node (Hondermarck, 2003; Bergman et al., 1996). Lobulus dan duktus payudara sangat responsif terhadap estrogen karena sel epitel lobulus dan duktus mengekspresikan reseptor estrogen (ER) yang menstimulasi pertumbuhan, diferensiasi, perkembangan kelenjar payudara, dan mammogenesis (Van De Graaff and Fox, 1995).
Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar payudara merupakan suatu seri peristiwa yang melibatkan interaksi berbagai macam tipe sel yang berbeda yang dimulai sejak kelahiran dan terus berlangsung di bawah pengaruh siklus menstruasi dan proses gestasi. Rangkaian peristiwa tersebut diatur oleh interaksi yang kompleks antara berbagai hormon steroid dan faktor pertumbuhan, baik dari sel yang berdekatan dengannya maupun dari komponen dalam lingkungan sel tersebut (faktor pertumbuhan). Stimulasi tersebut akan mempengaruhi perubahan morfologi dan metabolismenya. Kerentanan kelenjar payudara terhadap tumorigenesis dipengaruhi oleh perkembangan normal dari kelenjar itu sendiri yang dikarakterisasi dengan berbagai perubahan dalam proliferasi dan diferensiasi sel payudara (Guyton and Hall, 1996; Kumar, et al., 2000).
Penelitian menunjukkan bahwa sistem endokrin yang mengontrol perkembangan payudara mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara. Keseimbangan antara proliferasi, diferensiasi dan kematian sel-sel kelenjar payudara berperan penting dalam proses perkembangan tersebut. Gangguan dalam keseimbangan ini akan dapat mengakibatkan terjadinya kanker (Kumar et al., 2000). Beberapa faktor endokrin yang berkaitan dengan faktor risiko adalah obesitas, karena dalam keadaan obesitas terdapat peningkatan produksi estrogen jaringan adipase payudara; peningkatan kadar estrogen endogen dalam darah; kadar androstenedion dan testosteron dalam darah yang lebih tinggi dari normal yang bisa diubah menjadi estrogen estron dan kemudian estradiol; peningkatan kadar estrogen dan androgen dalam urin.
Estrogen merupakan suatu hormon steroid yang memberikan karakteristik seksual pada wanita, mempengaruhi berbagai organ dan jaringan di antaranya terlibat pada regulasi proliferasi sel dan diferensiasi baik pada wanita atau pria. Estrogen menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan sistem duktus yang luas, dan deposit lemak pada payudara (Guyton and Hall, 1996). Diduga paparan yang berlebihan dari estrogen endogen dalam fase kehidupan perempuan berkontribusi dan mungkin merupakan faktor penyebab terjadinya kanker payudara (Yager and Davidson, 2006).
2. Kanker Payudara
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai prevalensi cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria maupun wanita, hanya saja prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi. Diperkirakan pada tahun 2006 di Amerika, terdapat 212.920 kasus baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus baru pada pria, dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian pada pria (Anonimc, 2006). Di Indonesia, kanker payudara menempati urutan ke dua setelah kanker leher rahim (Tjindarbumi, 1995). Kejadian kanker payudara di Indonesia sebesar 11% dari seluruh kejadian kanker (Siswono, 2003).
Pada umumnya tumor pada payudara bermula dari sel epitelial, sehingga kebanyakan kanker payudara dikelompokkan sebagai karsinoma (keganasan tumor epitelial). Sedangkan sarkoma, yaitu keganasan yang berangkat dari jaringan penghubung, jarang dijumpai pada payudara. Berdasarkan asal dan karakter histologinya kanker payudara dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu in situ karsinoma dan invasive karsinoma. Karsinoma in situ dikarakterisasi oleh lokalisasi sel tumor baik di duktus maupun di lobular, tanpa adanya invasi melalui membran basal menuju stroma di sekelilingnya. Sebaliknya pada invasive karsinoma, membran basal akan rusak sebagian atau secara keseluruhan dan sel kanker akan mampu menginvasi jaringan di sekitarnya menjadi sel metastatik (Hondermarck, 2003).
Kanker payudara pada umumnya berupa ductal breast cancer yang invasif dengan pertumbuhan tidak terlalu cepat (Tambunan, 2003). Kanker payudara sebagian besar (sekitar 70%) ditandai dengan adanya gumpalan yang biasanya terasa sakit pada payudara, juga adanya tanda lain yang lebih jarang yang berupa sakit pada bagian payudara, erosi, retraksi, pembesaran dan rasa gatal pada bagian puting, juga secara keseluruhan timbul kemerahan, pembesaran dan kemungkinan penyusutan payudara. Sedangkan pada masa metastasis dapat timbul gejala nyeri tulang, penyakit kuning atau bahkan pengurangan berat badan (Bosman, 1999). Sel kanker payudara dapat tumbuh menjadi benjolan sebesar 1 cm2 dalam waktu 8-12 tahun (Tambunan, 2003). Pada tumor yang ganas, benjolan ini besifat solid, keras, tidak beraturan, dan nonmobile. Pada kasus yang lebih berat dapat terjadi edema kulit, kemerahan, dan rasa panas pada jaringan payudara (Lindley dan Michaud, 2005).
Penyebab kanker payudara sangat beragam, tetapi ada sejumlah faktor risiko yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit ini yaitu asap rokok, konsumsi alkohol, umur pada saat menstruasi pertama, umur saat melahirkan pertama, lemak pada makanan, dan sejarah keluarga tentang ada tidaknya anggota keluarga yang menderita penyakit ini (Macdonald dan Ford,1997). Hormon tampaknya juga memegang peranan penting dalam terjadinya kanker payudara. Estradiol dan atau progresteron dalam daur normal menstruasi meningkatkan resiko kanker payudara. Hal ini terjadi pada kanker payudara yang memiliki reseptor estrogen, dimana memang 50 % kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen (Gibbs, 2000).
Meskipun mekanisme molekuler yang mempengaruhi risiko terjadinya kanker payudara dan progresi dari penyakit ini belum dapat diketahui secara persis namun aktivasi onkogen yang disebabkan oleh modifikasi genetik (mutasi, amplifikasi atau penyusunan ulang kromosomal) atau oleh modifikasi epigenetik (ekspresi berlebihan) dilaporkan mampu mengarahkan pada terjadinya multiplikasi dan migrasi sel. Beberapa onkogen telah diketahui mempengaruhi karsinogenesis kanker payudara, diantaranya Ras, c-myc, epidermal growth factor receptor (EGFR, erb-B1), dan erb-B2 (HER-2/neu) (Greenwald, 2002). Perubahan ekspresi maupun fungsi dari gen supresor tumor seperti BRCA1, BRCA2 dan p53 tidak sepenuhnya bertanggungjawab dalam tingginya prevalensi kanker payudara spontan. Mutasi atau ketiadaan BRCA1 terdapat pada <10% kanker payudara, sementara itu mutasi p53 terjadi pada lebih dari 30% kanker payudara (Bouker et al., 2005).
Diperkirakan perkembangan tumor dari perubahan seluler pertama kali sampai kemudian terlihat melalui mammografi memerlukan waktu 6 sampai 8 tahun. Adanya perubahan sel kanker payudara menjadi sel yang ganas telah membentuk heterogenisitas dalam lingkungan di dalam sel. Selain itu, inflamasi lokal yang terjadi pada kasus kanker payudara mengindikasikan aktivitas sel sistem imun dan interaksinya dengan tumor (Hondermarck, 2003).
Deteksi kanker payudara dapat dilakukan dengan mammograms yang kadang-kadang dapat mendeteksi tumor secara dini. Stadium kanker payudara dapat diklasifikaskan berdasarkan diameter tumor, keterlibatan nodus lymphe, dan ada tidaknya jaringan yang terkena invasi metastasis kanker. Faktor prognostik pemeriksaan kanker payudara juga meliputi status nodus lymphe, kondisi dan diferensiasi tumor, dan kehadiran reseptor estrogen (Macdonald dan Ford, 1997).
Awalnya, proses metastase kanker payudara diinisiasi oleh adanya aktivasi atau overekspresi beberapa protein, misalnya reseptor estrogen (ER) dan c-erbB-2 (HER2) yang merupakan protein predisposisi kanker payudara (Fuqua, 2001; Eccles, 2001). Sekitar 50% kasus kanker payudara merupakan kanker yang tergantung estrogen dan sekitar 30% kasus merupakan kanker yang positif mengekspresi HER-2 berlebihan (Gibbs, 2000). Kedua protein tersebut selain berperan dalam metastasis, juga berperan dalam perkembangan kanker payudara (early cancer development). Estrogen berikatan dengan reseptor estrogen (ER) membentuk kompleks reseptor aktif dan mempengaruhi transkripsi gen yang mengatur proliferasi sel. Estrogen dapat memacu ekspresi protein yang berperan dalam cell cycle progression, seperti Cyclin D1, CDK4 (cyclin-dependent kinases4), Cyclin E dan CDK2. Aktivasi reseptor estrogen juga berperan dalam aktivasi beberapa onkoprotein seperti Ras, Myc, dan CycD1 (Foster et al., 2001). Aktivasi protein ini mengakibatkan adanya pertumbuhan berlebih melalui aktivasi onkoprotein yang lain seperti PI3K, Akt, Raf dan ERK. Protein Myc merupakan protein faktor transkripsi yang penting untuk pertumbuhan, sedang CycD1 merupakan protein penting dalam kelangsungan cell cycle progression sehingga adanya aktivasi tersebut akan mengakibatkan perkembangan kanker yang dipercepat (Hanahan and Weinberg, 2000). Estrogen akan menstabilkan keberadaan protein Myc. Protein ini sendiri berfungsi dalam menghambat kemampuan CKIKIPI untuk menghambat Cdk2 (Foster et al., 2001), padahal komplek Cyclin E/Cdk2 bertanggung jawab pada proses transisi sel dari fase G1 memasuki fase S (Pan et al., 2002).
Selain itu, kompleks estrogen dengan reseptornya juga akan memacu transkripsi beberapa gen tumor suppressor, seperti BRCA1, BRCA2, dan p53. Akan tetapi pada penderita kanker payudara (yang umumnya telah lewat masa menopause) gen-gen tersebut telah mengalami perubahan akibat dari hiperproliferasi sel-sel payudara selama perkembangannya sehingga tidak berperan sebagaimana mestinya (Adelmann dkk., 2000; Clarke, 2000). Gen BRCA 1 terletak pada kromosom 17q21, terdiri dari 22 ekson dan panjangnya kira-kira 100 kb. Gen ini merupakan tumor suppresor gene. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi gen ini sebesar 85 % dan pada wanita usia di bawah 50 tahun sebesar 50 %. Gen BRCA 2 mempunyai ukuran 70 kb dan terdiri dari 27 ekson, terletak pada kromosom 13q12. Resiko terjadinya kanker payudara karena mutasi pada gen ini sebesar 80-90 % pada wanita. Gen p53 secara normal menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa yang terlibat dalam kontrol pertumbuhan sel. Terjadinya mutasi pada gen ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel menjadi tidak terkontrol (Gondhowiarjo, 2004). Hilangnya 4p, 4q dan 5q pada BRCA1 serta 7p dan 17q24 pada BRCA2 dapat digunakan untuk membedakan antara kanker payudara yang disebabkan faktor keturunan atau penyebab umum lainnya (Borg, 2005). Mutasi pada BRCA1 adalah delesi ekson 11 sedangkan pada BRCA2 adalah delesi ekson 12 dan 3 (Franks and Teich, 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran BRCA1 dan BRCA2 diantaranya dapat menjaga kestabilan dan integritas genetik melalui kemampuannya untuk melakukan homolog rekombinasi. Protein tersebut terlibat pula dalam perbaikan kerusakan DNA akibat oksidasi melalui interaksinya dengan RAD50, RAD51, dan protein-protein lain yang merespon kerusakan DNA. Fungsi BRCA1 dalam perbaikan DNA berkaitan dengan protein GADD45 (Growth Arrest and DNA Damage) yang di-upregulasi ketika terjadi overekspresi BRCA1. Saat terjadi kerusakan DNA, BRCA1 akan terlepas dari pasangannya, yaitu CtIP (CtBP-Interacting Protein) sehingga BRCA1 dapat mengaktifkan GADD45 yang akan menjaga stabilitas genomik (Wickremasighe and Hoffbrand, 1999).
Salah satu model sel kanker payudara yang banyak digunakan dalam penelitian adalah sel MCF7 dan sel T47D. Sel MCF-7 adalah sel kanker payudara yang diperoleh dari pleural effusion breast adenocarcinoma seorang pasien wanita Kaukasian berumur 69 tahun, golongan darah O, dengan Rh positif. Sel menunjukkan adanya diferensiasi pada jaringan epitel mammae termasuk diferensiasi pada sintesis estradiol. Media dasar penumbuh sel MCF-7 adalah media EMEM terformulasi. Untuk memperoleh media kompleks, maka ditambahkan 0,01 mg/ml bovine insulin dan FBS hingga konsentrasi akhir FBS dalam media menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu 37C dan dengan kadar CO2 5%. Sel MCF-7 tergolong cell line adherent (ATCC, 2008b) yang mengekspresikan reseptor estrogen alfa (ER-α), resisten terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002), dan tidak mengekspresikan caspase-3 (Onuki dkk., 2003; Prunet dkk., 2005). Karakteristik tersebut membedakannya dengan sel kanker payudara lain, seperti sel T47D.
Sel kanker payudara T47D merupakan continous cell lines yang morfologinya seperti sel epitel yang diambil dari jaringan payudara seorang wanita berumur 54 tahun yang terkena ductal carcinoma. Sel ini dapat ditumbuhkan dengan media dasar penumbuh RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640. Untuk memperoleh media kompleks, maka ditambahkan 0,2 U/ml bovine insulin dan Foetal Bovine Serum (FBS) hingga konsentrasi akhir FBS dalam media menjadi 10%. Sel ditumbuhkan pada suhu 37°C dengan kadar CO2 5%. Sel ini termasuk cell line adherent (ATCC, 2008a) yang mengekspresikan ER-β (Zampieri dkk., 2002) dibuktikan dengan adanya respon peningkatan proliferasi sebagai akibat pemaparan 17β-estradiol (Verma dkk., 1998). Sel ini memiliki doubling time 32 jam dan diklasifikasikan sebagai sel yang mudah mengalami diferensiasi karena memiliki reseptor estrogen + (Wozniak and Keely, 2005). Sel ini sensitif terhadap doxorubicin (Zampieri dkk., 2002) dan mengalami missense mutation pada residu 194 (dalam zinc binding domain L2) gen p53. Loop L2 ini berperan penting pada pengikatan DNA dan stabilisasi protein. Jika p53 tidak dapat berikatan dengan response element pada DNA, kemampuannya untuk regulasi cell cycle dapat berkurang atau hilang (Schafer et al., 2000). Pada sel tumor dengan mutasi p53, diketahui terjadi pengurangan respons terhadap agen-agen yang menginduksi apoptosis dan tumor-tumor tersebut kemungkinan menjadi resisten terhadap obat antineoplastik yang memiliki target pengrusakan DNA (Crawford, 2002).
Sumber : http://www.ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?page_id=885
Langganan:
Postingan (Atom)