Rabu, 24 Oktober 2012

Analisa Cuka Metode Alkalimetri

Asidi-alkalimetri adalah teknik analisiskimiaberupatitrasiyang menyangkutasamdanbasaatau sering disebut titrasi asam-basa. Reaksidijalankan dengantitrasi, yaitu suatu larutan ditambahkan dariburetsedikit demi sedikit sampai jumlah zat-zat yang direksikan tepat menjadiekivalen(telah tepat banyaknya untuk menghabiskanzatyang direaksikan) satu sama lain. Larutan yang ditambahkan dari buret disebut titrant, sedangkan larutan yang ditambah titrant disebut titrat (dalam hal ini titrant dan titrat berupa asam dan basaatau sebaliknya).
Pada saat ekivalen, penambahan titrant harus dihentikan, saat ini dinamakan titik akhir titrasi.
Untuk mengetahui keadaan ekivalen dalam proses asidi-alkalimetri ini, diperlukan suatu zat yang dinamakanindikator asam-basa.
Indikator asam-basa adalah zat yang dapat berubah warna apabila Ph lingkungannya berubah.
Asidi-alkalimetri menyangkut reaksi antara asam kuat-basa kuat, asam kuat-basa lemah, asamlemah-basa kuat, asam kuat-garam dari asam lemah, dan basa kuat-garam dari basa lemah.
Salah satu dari empat golongan utama dalam penggolongan analisis titrimetri adalah reaksi penetralan atau asidimetri dan alkalimetri. Asidi dan alkalimetri ini melibatkan titrasi basa yang terbentuk karena hidrolisis garam yang berasal dari asam lemah (basa bebas) dengan suatu asam standar (asidimetri), dan titrasi asam yang terbentuk dari hidrolisis garam yang berasal dari basa lemah (asam bebas) dengan suatu basa standar (alkalimetri). Bersenyawanya ion hidrogen dan ion hidroksida untuk membentuk air merupakan akibat reaksi-reaksi tersebut
Larutan yang mengandung reagensia dengan bobot yang diketahui dalam suatu volume tertentu dalam suatu larutan disebut larutan standar. Sedangkan larutan standar primer adalah suatu larutan yang konsentrasinya dapat langsung ditentukan dari berat bahan sangat murni yang dilarutkan dan volume yang terjadi. Suatu zat standar primer harus memenuhi syarat seperti dibawah ini:
1. Zat harus mudah diperoleh, mudah dimurnikan, mudah dikeringkan (sebaiknya pada suhu 110-1200 C).
2. Zat harus mempunyai ekuivalen yang tinggi, sehingga sesatan penimbangan dapat diabaikan.
3. Zat harus mudah larut pada kondisi-kondisi dalam mana ia digunakan.
4. Zat harus dapat diuji terhadap zat-zat pengotor dengan uji-uji kualitatif atau uji-uji lain yang kepekaannya diketahui (jumlah total zat-zat pengotor, umumnya tak boleh melebihi 0,01-0,02 %).
5. Reaksi dengan larutan standar itu harus stoikiometrik dan praktis sekejap. Sesatan titrasi harus dapat diabaikan, atau mudah ditetapkan dengan cermat dengan eksperimen.
6. Zat harus tak berubah dalam udara selama penimbangan; kondisi-kondisi ini mengisyaratkan bahwa zat tak boleh higroskopik, tak pula dioksidasi oleh udara, atau dipengaruhi oleh karbondioksida.Standar ini harus dijaga agar komposisinya tak berubah selama penyimpanan.
Penentuan Kadar Cuka
Cuka merupakan larutan yang dibuat dari fermentasi etanol
(CH3CH2OH), dimana etanol sebelumnya dihasilkan dari fermentasi gula.
Fermentasi etanol ini menghasilkan asam asetat (CH3COOH). Cuka yang ada
di pasaran ada bermacam-macam, masing-masing dibuat dari sumber gula
yang berbeda (misalnya beras, anggur, gandung atau apel). Kadar asam asetat
yang terdapat dalam cuka juga bermacam-macam, biasanya 4 sampai 6 %
untuk cuka makanan, bahkan bisa mencapai 18 % untuk acar cuka.
Menentukan kadar asam asetat dalam cuka komersil merupakan salah
satu aplikasi titrasi asam basa yang sederhana dan mudah. Untuk menentukan
kadar asam cuka dapat digunakan larutan standar natrium hidroksida (NaOH)
dan indikator fenolftalein. Cuka yang akan di uji kadarnya harus diencerkan
terlebih dahulu sebelum dititrasi. Kemudian dititrasi dengan larutan natrium
hidroksida hingga timbul warna merah muda.
Reaksi yang terjadi adalah:
CH3COOH(aq) + NaOH(aq) → CH3COONa(aq) + H2O(l)
http://www.sidola.com/consumergoods/kategorien/06_Cuka-nbsp%7EDixi/dateien/cukamasak.jpg Asam cuka atau asam asetat (acetic acid) adalah senyawa kimia organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan, selain dapat berfungsi juga sebagai pengawet bahan makanan. Asam cuka encer merupakan golongan asam lemah yang paling aman bagi tubuh. Selain dalam makanan, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air dalam rumah tangga.

Selain digunakan dalam industri makanan dan rumah tangga, asam asetat juga digunakan dalam industri produksi polimer dan berbagai macam serat dan kain, dan industri obat-obatan.

Asam asetat yang digunakan dalam industri makanan haruslah asam cuka makan. Asam asetat encer, seperti pada cuka, tidak berbahaya. Namun konsumsi asam asetat yang lebih pekat berbahaya bagi manusia maupun hewan. Hal itu dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pencernaan, dan perubahan yang mematikan pada keasaman darah.
sifat kimia asam cuka
asam cuka memiliki struktur kimia sebagai berikut:
CH3COOH
mempunyai nama lain etanoat, asam asetat, asam karboksilat atau asam organik lemah yang merupakan zat cair yang tidak berwarna dan berbau khas.
sifat sifat kimia asam cuka, meliputi:
  • keasaman, atom hidrogen pada gugus karboksil (-COOH) dalam asam karboksilat seperti asam cuka dapat dilepas sebagai ion H(+), sehingga memberikan sifat asam.
  • sebagai pelarut, asam cuka cair adalah pelarut protik hidrofilik (polar), mirip seperti air dan etanol. asam cuka memiliki konstanta dielektrik 6.2, sehingga dapat melarutkan senya polar dengan baik seperti garam anorganik, gula da senyawa non polar seperti minyak dan unsur-unsur seperti sulfur dan iodin.
  • reaksi-reaksi kimia, asam cuka bersifat korosif terhadap  banyak logam seperti besi, magnesium, da seng, membentuk gas hidrogen dan garam-garam asetat.

Minggu, 21 Oktober 2012

Analisa Bhan Tambahan Makanan (Pewarna)


Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
Pewarna digunakan dalam makanan untuk : 1)Memperbaiki penampakan dari makanan yang warnanya memudar karen pemanasan. 2) Memperoleh warna yang seragam pada makanan yang warna alaminya tidak seragam. 3) Memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya. 4) Memperoleh penampakan yang lebih menarik selama penyimpanan. 5) Sebagai indikator visual untuk kualitas, dan 6) Mempertahankan warna yang memudar karena sinar matahari.
Untuk memilih pewarna, bacalah informasi yang ditulis pada label kemasannya. Pada label tersebut harus tercantum : Tulisan “Bahan Tambahan Makanan”, Nama pewarna makanan, Nomor index pewarna (CI), Komposisi untuk produk pewarna campuran, Isi Netto dan Kode Produksi, Takaran penggunaan dalam makanan, Nomor pendaftaran produk (MD/ML), Nama dan alamat produsen dan Nomor pendaftaran produsen. Selain informasi diatas pada kemasan atau bungkus luar pewarna makanan harus dicantumkan yaitu lingkaran dengan huruf (M) yang menyentuh garis tepi.
Pewarna yang aman sebagaimana tercantum dalam Permenkes No.722/1988 adalah : 1) Pewarna alam yaitu Anato, Beta-Apo-8′Karotenoat, Etil Beta-Apo-8′Karotenoet, Kantasantin, Karamel,Amonia Sulfit Proses, Karamel, Karmin, Beta Karoten, Krorofil, Klorofil Tembaga Komplex, Kurkumin, Riboflavin, Titanium Dioksida.  2) Pewarna sintetik yaitu Biru Berlian, Coklat HT, Eritrosin, Hijau FCF, Hijau S, Indigotin, Karmoisin, Kuning FCF, Kuning Kuinolin, Merah Alura, Ponceau 4 R, dan Tartrazin.
Jenis pewarna yang dilarang untuk makanan : Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Umber, Chrysoidine, Chrysoine S. Citrus Red No.2, Chocolate Brown FB, Fast Red E. Fast Yellow, Guinea Green B, Indanthrene Blue RS, Magenta, Metanil Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Yellow AB, Oil Yellow OB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orange and Orcein, Ponceu 3 R, Ponceu SX, Ponceu 6 R, Rhodamin B, Sudan 1, Scartet GN, dan Violet 6 B.
Pada umumnya bahan makanan mengandung beberapa unsur atau senyawa seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmen dan lain-lain. Kandungan jenis bahan tersebut bergantung pada sifat alamiah dari bahan makanan tersebut. Adakalanya makanan yang tersedia tidak mempunyai bentuk yang menarik meskipun kandungan gizinya tinggi, dengan arti lain kualitas dari suatu produk makanan sangat ditentukan oleh tingkat kesukaan konsumen terhadap makanan tersebut. Umumnya pengolahan makanan selalu berusaha untuk menghasilkan produk yang berkualitas baik. Kualitas makanan adalah keseluruhan sifat-sifat dari makanan tersebut yang berpengaruh terhadap penerimaan dari konsumen.

Teknologi pengolahan pangan dewasa ini berkembang cukup pesat, termasuk di Indonesia. Untuk memperoleh produk pangan olahan yang bercita rasa lezat, berpenampilan menarik, tahan lama, mudah dalam pengangkutan dan pendistribusiannya digunakan berbagai bahan pendukung yang lazim disebut bahan tambahan makanan (BTM, food additives).

Peraturan pemakaian BTM berbeda-beda antara satu Negara dengan Negara lain. Di Indonesia pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan BTM yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah dalam melakukan pengawasan antara lain :
  • Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1996, Bab II Keamanan Pangan
  • Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, tentang persyaratan bahan tambahan makanan yang diijinkan, dosis pemakaian, dan label kemasa
  • Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 208/Menkes/Per/IV/85, tentang penggunaan pemanis buatan
  • Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/85, tentang pemakaian zat warna yang dilarang
Penggunaan BTM dibenarkan apabila (1) dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan, (2) tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan, (3) tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan dan (4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan makanan. Pengawasan pelaksanaan peraturan tersebut dilakukan oleh Ditjen POM, disamping lembaga-lembaga lain seperti LSM dan YLKI.

Apa saja yang termasuk dalam BTM? Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 235/MEN.KES/ PER/VI/1979 tanggal 19 Juni 1979 mengelompokkan BTM berdasarkan fungsinya yaitu:
  • antioksidan
  • anti kempal,
  • pengasam, penetral dan pendapar,
  • enzim
  • pemanis buatan
  • pemutih dan pematang,
  • penambah gizi,
  • pengawet,
  • pengemulsi, pemantap dan pengental,
  • pengeras,
  • pewarna alami dan sitetik,
  • penyedap rasa dan aroma,
  • seskuestran,
  • bahan tambahan lain.

Tujuan penambahan BTM secara umum adalah untuk:
  • meningkatkan nilai gizi makanan
  • memperbaiki nilai sensori makanan
  • memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan.
  • sering digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya.

Pewarna yang Aman Dikonsumsi
Zat warna/pewarna makanan secara umum dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: zat warna alami, zat warna yang identik dengan zat warna alami, dan zat warna sintetis.

Zat warna alami adalah zat warna (pigmen) yang diperoleh dari tumbuhan,hewan, atau dari sumber-sumber mineral. Zat warna ini telah sejak dahulu digunakan untuk pewarna makanan dan sampai sekarang umumnya penggunaannya dianggap lebih aman daripada zat warna sintetis. Selain itu penelitian toksikologi zat warna alami masih agak sulit karena zat warna ini umumnya terdiri dari campuran dengan senyawa-senyawa alami lainnya. Misalnya, untuk zat warna alami asal tumbuhan, bentuk dan kadarnya berbeda-beda, dipengaruhi faktor jenis tumbuhan, iklim, tanah, umur dan faktor-faktor lainnya.

Bila dibandingkan dengan pewarna-pewarna sintetis penggunaan pewarna alami mempunyai keterbatasan-keterbatasan, antara lain:
  • Seringkali memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan
  • Konsentrasi pigmen rendah
  • Stabilitas pigmen rendah
  • Keseragaman warna kurang baik
  • Spektrum warna tidak seluas seperti pada pewarna sintetis
Jenis zat warna alami yang sering digunakan untuk pewarna makanan antara lain Karotenoid,Antosianin Kurkum, Biksin, Karamel, Titanium oksida, Cochineal, karmin dan asam karminat.
Zat warna ini masih satu golongan dengan kelompok zat warna alami, hanya zat warna ini dihasilkan dengan cara sintesis kimia, bukan dengan cara ekstraksi atau isolasi. Jadi pewarna identik alami adalah pigmen-pigmen yang dibuat secara sintetis yang struktur kimianya identik dengan pewarna-pewarna alami. Yang termasuk golongan ini adalah karotenoid murni antara lain canthaxanthin (merah), apo-karoten (merah-oranye), betakaroten (oranye-kuning). Semua pewarna-pewarna ini memiliki batas-batas konsentrasi maksimum penggunaan, terkecuali beta-karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas.
Berdasarkan rumus kimianya, zat warna sintetis dalam makanan menurut “Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives” (JECFA) dapat digolongkan dalam beberapa kelas, yaitu : azo, triarilmetana, quinolin, xanten dan indigoid. Kelas azo merupakan zat warna sintetis yang paling banyak jenisnya dan mencakup warna kuning, oranye, merah, ungu, dan coklat, setelah itu kelas triarilmetana yang mencakup warna biru dan hijau.

Zat warna sintetis dipakai sangat luas dalam pembuatan berbagai macam makanan. Zat warna tersebut dapat dicampurkan dan akan menghasilkan kisaran warna yang luas. Pemakaian zat warna oleh industri pangan jumlahnya boleh dikatakan tidak begitu banyak, yaitu biasanya tidak lebih dari 100 mg per kg produk. Pemakaian zat warna sintetis dalam industri pangan.
Pewarna yang dilarang untuk Pangan
Ada beberapa jenis pewarna makanan yang beredar saat ini. Ada yang buatan (sintetik), ada yang alami (natural). Pewarna sintetik biasanya terbuat dari bahan kimia, seperti tartrazin untuk warna kuning, blilliant blue untuk warna biru, alura red untuk warna merah, dan seterusnya.

Sedangkan pewarna alami biasanya diekstrak dari tanaman atau mikroba, seperti klorophil (hijau), xanthaxanthine (merah) dan sebagainya. Pada umumnya pewarna sintetis ini tidak mengandung bahan haram, tetapi kurang sehat apabila dipakai berlebihan. Ia dapat berdampak buruk pada kesehatan. Sebaliknya pewarna alami lebih aman dan tidak menimbulkan efek negatif bagi kesehatan.

Namun demikian pewarna jenis ini perlu dikaji, apakah mengandung bahan haram atau tidak. Sebab biasanya pewarna ini kurang stabil, sehingga perlu bahan tambahan untuk membuat lebih stabil. Bahan tambahan inilah yang perlu diwaspadai. Misalnya penggunaan gelatin sebagai bahan pelapis (micro enkapsulasi) pada pewarna xanthaxanthine.
MASIH rendahnya pengetahuan masyarakat soal mutu dan keamanan pangan menyebabkan maraknya kasus keracunan makanan. Hal ini diperparah dengan berbagai jenis bahan tambahan makanan (BTM) yang bersumber dari produk-produk senyawa kimia dan turunannya. Mengingat beredarnya beberapa bahan tambahan makanan yang berisiko, hendaknya konsumen lebih kritis dan berhati-hati dalam memilih dan mengonsumsi aneka makanan yang ada. Atau dapat membiasakan dengan menambahkan bahan tambahan makanan alami semisal kunyit, daun pandan dan lain sebagainya.

Sebagai konsumen, tentunya kita mempunyai hak untuk memperoleh kebutuhan pokok yang memadai, mendapatkan keamanan dari makanan dan minuman yang kita akan konsumsi. Bila konsumen mengalami kerugian dalam mengonsumsi makanan dan minuman, dapat mengajukan klaim pada instansi yang berwenang. Dalam hal ini instansi yang berwenang tersebut adalah Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan, dan Departemen Kesehatan.
Masyarakat konsumen sebaiknya tidak mengonsumsi makanan dan atau minuman yang tidak mencantumkan batas tanggal kedaluwarsa. Ada beberapa informasi penting yang harus diketahui konsumen. Pertama, harga, konsumen berhak mendapatkan informasi dan membandingkannya dengan informasi lain sehingga ia dapat membeli dengan harga sesuai daya beli mereka. Kedua, label, sebelum mengonsumsi makanan, konsumen perlu memperhatikan informasi pada kemasan atau label produksi yang harus meliputi nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat atau isi bersih, nama dan alamat produsen dan tanggal kadaluwarsa. Pemberian label pada makanan kemasan itu bertujuan agar konsumen mendapatkan informasi yang benar dan jelas tentang produk tersebut.

Ketiga, kemasan dan perubahan fisik, produk makanan dengan kemasan yang sudah rusak tidak layak dikonsumsi. Perhatikan jika bau tidak sedap, perubahan warna, bentuk, dan rasa adalah tanda-tanda makanan dalam kemasan telah rusak.
Secara umum bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terbagi atas pewarna sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia. Misalnya tartrazin untuk warna kuning, allura red untuk warna merah, dan seterusnya. Kadang-kadang pengusaha yang nakal juga menggunakan pewarna bukan makanan (non food grade) untuk memberikan warna pada makanan.

Misalnya saja penggunaan rhodamin B yang sering digunakan untuk mewarnai terasi, kerupuk dan minuman sirup. Penggunaan pewarna jenis ini tentu saja dilarang keras, karena bisa menimbulkan kanker dan penyakit-penyakit lainnya.

Bahan pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk makanan (food grade) pun harus dibatasi jumlahnya. Karena pada dasarnya, setiap benda sintetis yang masuk ke dalam tubuh kita akan menimbulkan efek. Beberapa negara maju, seperti Eropa dan Jepang bahkan telah melarang penggunaan pewarna sintetis tersebut. Misalnya saja pewarna tartrazine, telah mulai ditinggalkan oleh negara tertentu. Mereka lebih merekomendasikan pewarna alami, seperti beta karoten.
Mengapa pewarna sintetis masih sangat diminati oleh para produsen makanan? Pertama adalah masalah harga. Pewarna kimia tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami. Masalah ini tentu saja sangat diperhatikan oleh produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.

Faktor kedua adalah stabilitas. Pewarna sintetis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga warnanya tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan. Sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan disimpan. Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna alami, maka warna tersebut akan segera pudar manakala mengalami proses penggorengan.

Pewarna alami sebenarnya tidak bebas dari masalah. Dari segi kehalalan, pewarna jenis ini justru memiliki titik kritis yang lebih tinggi. Sebagaimana dijelaskan, pewarna natural ini tidak stabil selama penyimpanan. Untuk mempertahankan warna agar tetap cerah, maka sering digunakan bahan pelapis untuk melindunginya dari pengaruh suhu, cahaya dan kondisi lingkungan lainnya. Nah, bahan pelapis yang sering digunakan adalah gelatin, yang berasal dari hewan. Tentu saja gelatin ini perlu dilihat, apakah berasal dari hewan halal atau tidak.
Salah satu contoh pewarna alami yang digunakan dalam pengolahan pangan adalah xanthaxanthine. Bahan pewarna yang memberikan warna merah ini diekstrak dari sejenis tanaman. Untuk membuat pewarna tersebut stabil maka digunakan gelatin sebagai bahan pelapis (coating) melalui sistem mikroenkapsulasi. Pewarna ini sering digunakan pada industri daging dan ikan kaleng (ikan sardin).

Di satu sisi penggunaan pewarna sintetis yang tidak proporsional dapat menimbulkan masalah kesehatan. Namun penggunaan bahan pewarna alamipun jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat menjurus kepada bahan yang haram atau shubhat. Lalu bagaimana sikap kita menghadapi dilema tersebut?

Pilihan terbaik tentu saja tetap pewarna alami, karena ia adalah bahan alam yang tidak menimbulkan efek negatif pada tubuh. Namun harus diingat bahwa penggunaan bahan tambahan atau bahan penolong semisal pelapis pada pewarna tersebut harus dipilih dari bahan-bahan yang halal. Kalau harus menggunakan gelatin sebaiknya dengan gelatin yang halal. Bisa juga digunakan bahan lain, seperti maltodekstrin atau karagenan yang lebih aman dari segi kehalalan.
Jika masalah harga masih menjadi kendala, maka penggunaan bahan pewarna sintetis boleh-boleh saja. Namun harus jenis pewarna yang untuk makanan (food grade) dengan jumlah yang proporsional dan tidak berlebihan. Bagi konsumen, perlu juga mengetahui ciri-ciri pewarna yang tidak baik. Pertama, carilah makanan atau minuman yang warnanya tidak terlalu mencolok. Misalnya, hindari makanan dengan warna merah, kuning dan hijau yang terlihat `ngejreng'. Tidak menutup kemungkinan warna yang terlalu mencolok tersebut berasal dari bahan pewarna non food grade, seperti pewarna teksil yang berbahaya bagi kesehatan. Sedangkan untuk melihat pewarna yang halal dan yang tidak, secara kasat mata memang agak sulit. Oleh karena itu lebih mudah memilih makanan dan minuman yang telah bersertifikat halal.
Bahan pewarna makanan seperti amaranth, allura merah, citrus merah, karamel, erythrosin, indigotine, karbon hitam, Ponceau SX, fast green FCF, chocineal, dan kurkumin dibatasi penggunaannya. Amaranth dapat menimbulkan tumor, reaksi alergi pada pernapasan, dan dapat menyebabkan hiperaktif pada anak-anak. Allura merah bisa memicu kanker limpa. Karamel dapat menimbulkan efek pada sistem saraf, dan dapat menyebabkan penyakit pada sistem kekebalan. Indigotine dapat meningkatkan sensitivitas pada penyakit yang disebabkan oleh virus, serta mengakibatkan hiperaktif pada anak-anak. Pemakaian Erythrosin menimbulkan reaksi alergi pada pernapasan, hiperaktif pada anak-anak, dan efek yang kurang baik pada otak dan perilaku. Ponceau SX dapat berakibat pada kerusakan sistem urin, sedangkan karbon hitam dapat memicu timbulnya tumor.
Berdasarkan Permenkes No. 239/menkes/Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya, pewarna yang dilarang untuk pangan antara lain: Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Umber, Chrysoidine, Chrysoine S, Citrus Red No.2, Chocolate Brown Fb, Fast Red E, Fast Yellow AB, Guinea Green B, Indanthrene Blue RS, Mageta, Matanil Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Yellow AB, Oil Yellow OB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchil and Orcein, Ponceau 3 R, Ponceau SX, Ponceau 6 R, Rhodamin B, Sudan 1, Scarlet GN, Violet 6 B.

Ada beberapa contoh bahan pewarna berbahaya disebabkan bisa menimbulkan beberapa efek karena sifat atau karakter dari zat tersebut di antaranya: Butter Yellow bersifat karsinogenitik, Black 7984 dapat menimbulkan reaksi alergi dan intoleransi, Chrysoidine bersifat karsinogenitik, Citrus Red No.2 bersifat karsinogenitik, Chocolate Brown FB dapat menimbulkan gejala intoksikasi (keracunan), CI Basic Red 9 bersifat karsinogenitik, Metanil Yellow menyebabkan mual, muntah, diare, panas dan dalam jangka panjang bisa menimbulkan kanker kandung kemih, Oil Orange SS bersifat karsinogenitik, Orange G bersifat tumorigen dan mutagen, Ponceau SX bisa menyebabkan kerusakan pada sistem urin, Rhodamin B bersifat karsinogenitik dan bisa menyebabkan gangguan pada fungsi hati.

Sumber : Badan POM

Analisa Bhan Tambahan Makanan (Pewarna)


Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
Pewarna digunakan dalam makanan untuk : 1)Memperbaiki penampakan dari makanan yang warnanya memudar karen pemanasan. 2) Memperoleh warna yang seragam pada makanan yang warna alaminya tidak seragam. 3) Memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya. 4) Memperoleh penampakan yang lebih menarik selama penyimpanan. 5) Sebagai indikator visual untuk kualitas, dan 6) Mempertahankan warna yang memudar karena sinar matahari.
Untuk memilih pewarna, bacalah informasi yang ditulis pada label kemasannya. Pada label tersebut harus tercantum : Tulisan “Bahan Tambahan Makanan”, Nama pewarna makanan, Nomor index pewarna (CI), Komposisi untuk produk pewarna campuran, Isi Netto dan Kode Produksi, Takaran penggunaan dalam makanan, Nomor pendaftaran produk (MD/ML), Nama dan alamat produsen dan Nomor pendaftaran produsen. Selain informasi diatas pada kemasan atau bungkus luar pewarna makanan harus dicantumkan yaitu lingkaran dengan huruf (M) yang menyentuh garis tepi.
Pewarna yang aman sebagaimana tercantum dalam Permenkes No.722/1988 adalah : 1) Pewarna alam yaitu Anato, Beta-Apo-8′Karotenoat, Etil Beta-Apo-8′Karotenoet, Kantasantin, Karamel,Amonia Sulfit Proses, Karamel, Karmin, Beta Karoten, Krorofil, Klorofil Tembaga Komplex, Kurkumin, Riboflavin, Titanium Dioksida.  2) Pewarna sintetik yaitu Biru Berlian, Coklat HT, Eritrosin, Hijau FCF, Hijau S, Indigotin, Karmoisin, Kuning FCF, Kuning Kuinolin, Merah Alura, Ponceau 4 R, dan Tartrazin.
Jenis pewarna yang dilarang untuk makanan : Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Umber, Chrysoidine, Chrysoine S. Citrus Red No.2, Chocolate Brown FB, Fast Red E. Fast Yellow, Guinea Green B, Indanthrene Blue RS, Magenta, Metanil Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Yellow AB, Oil Yellow OB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orange and Orcein, Ponceu 3 R, Ponceu SX, Ponceu 6 R, Rhodamin B, Sudan 1, Scartet GN, dan Violet 6 B.
Pada umumnya bahan makanan mengandung beberapa unsur atau senyawa seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, enzim, pigmen dan lain-lain. Kandungan jenis bahan tersebut bergantung pada sifat alamiah dari bahan makanan tersebut. Adakalanya makanan yang tersedia tidak mempunyai bentuk yang menarik meskipun kandungan gizinya tinggi, dengan arti lain kualitas dari suatu produk makanan sangat ditentukan oleh tingkat kesukaan konsumen terhadap makanan tersebut. Umumnya pengolahan makanan selalu berusaha untuk menghasilkan produk yang berkualitas baik. Kualitas makanan adalah keseluruhan sifat-sifat dari makanan tersebut yang berpengaruh terhadap penerimaan dari konsumen.

Teknologi pengolahan pangan dewasa ini berkembang cukup pesat, termasuk di Indonesia. Untuk memperoleh produk pangan olahan yang bercita rasa lezat, berpenampilan menarik, tahan lama, mudah dalam pengangkutan dan pendistribusiannya digunakan berbagai bahan pendukung yang lazim disebut bahan tambahan makanan (BTM, food additives).

Peraturan pemakaian BTM berbeda-beda antara satu Negara dengan Negara lain. Di Indonesia pemerintah melalui Departemen Kesehatan telah mengeluarkan peraturan tentang penggunaan BTM yang dapat dijadikan acuan oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah dalam melakukan pengawasan antara lain :
  • Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1996, Bab II Keamanan Pangan
  • Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88, tentang persyaratan bahan tambahan makanan yang diijinkan, dosis pemakaian, dan label kemasa
  • Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 208/Menkes/Per/IV/85, tentang penggunaan pemanis buatan
  • Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/85, tentang pemakaian zat warna yang dilarang
Penggunaan BTM dibenarkan apabila (1) dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan, (2) tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan, (3) tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan dan (4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan makanan. Pengawasan pelaksanaan peraturan tersebut dilakukan oleh Ditjen POM, disamping lembaga-lembaga lain seperti LSM dan YLKI.

Apa saja yang termasuk dalam BTM? Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 235/MEN.KES/ PER/VI/1979 tanggal 19 Juni 1979 mengelompokkan BTM berdasarkan fungsinya yaitu:
  • antioksidan
  • anti kempal,
  • pengasam, penetral dan pendapar,
  • enzim
  • pemanis buatan
  • pemutih dan pematang,
  • penambah gizi,
  • pengawet,
  • pengemulsi, pemantap dan pengental,
  • pengeras,
  • pewarna alami dan sitetik,
  • penyedap rasa dan aroma,
  • seskuestran,
  • bahan tambahan lain.

Tujuan penambahan BTM secara umum adalah untuk:
  • meningkatkan nilai gizi makanan
  • memperbaiki nilai sensori makanan
  • memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan.
  • sering digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya.

Pewarna yang Aman Dikonsumsi
Zat warna/pewarna makanan secara umum dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: zat warna alami, zat warna yang identik dengan zat warna alami, dan zat warna sintetis.

Zat warna alami adalah zat warna (pigmen) yang diperoleh dari tumbuhan,hewan, atau dari sumber-sumber mineral. Zat warna ini telah sejak dahulu digunakan untuk pewarna makanan dan sampai sekarang umumnya penggunaannya dianggap lebih aman daripada zat warna sintetis. Selain itu penelitian toksikologi zat warna alami masih agak sulit karena zat warna ini umumnya terdiri dari campuran dengan senyawa-senyawa alami lainnya. Misalnya, untuk zat warna alami asal tumbuhan, bentuk dan kadarnya berbeda-beda, dipengaruhi faktor jenis tumbuhan, iklim, tanah, umur dan faktor-faktor lainnya.

Bila dibandingkan dengan pewarna-pewarna sintetis penggunaan pewarna alami mempunyai keterbatasan-keterbatasan, antara lain:
  • Seringkali memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan
  • Konsentrasi pigmen rendah
  • Stabilitas pigmen rendah
  • Keseragaman warna kurang baik
  • Spektrum warna tidak seluas seperti pada pewarna sintetis
Jenis zat warna alami yang sering digunakan untuk pewarna makanan antara lain Karotenoid,Antosianin Kurkum, Biksin, Karamel, Titanium oksida, Cochineal, karmin dan asam karminat.
Zat warna ini masih satu golongan dengan kelompok zat warna alami, hanya zat warna ini dihasilkan dengan cara sintesis kimia, bukan dengan cara ekstraksi atau isolasi. Jadi pewarna identik alami adalah pigmen-pigmen yang dibuat secara sintetis yang struktur kimianya identik dengan pewarna-pewarna alami. Yang termasuk golongan ini adalah karotenoid murni antara lain canthaxanthin (merah), apo-karoten (merah-oranye), betakaroten (oranye-kuning). Semua pewarna-pewarna ini memiliki batas-batas konsentrasi maksimum penggunaan, terkecuali beta-karoten yang boleh digunakan dalam jumlah tidak terbatas.
Berdasarkan rumus kimianya, zat warna sintetis dalam makanan menurut “Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives” (JECFA) dapat digolongkan dalam beberapa kelas, yaitu : azo, triarilmetana, quinolin, xanten dan indigoid. Kelas azo merupakan zat warna sintetis yang paling banyak jenisnya dan mencakup warna kuning, oranye, merah, ungu, dan coklat, setelah itu kelas triarilmetana yang mencakup warna biru dan hijau.

Zat warna sintetis dipakai sangat luas dalam pembuatan berbagai macam makanan. Zat warna tersebut dapat dicampurkan dan akan menghasilkan kisaran warna yang luas. Pemakaian zat warna oleh industri pangan jumlahnya boleh dikatakan tidak begitu banyak, yaitu biasanya tidak lebih dari 100 mg per kg produk. Pemakaian zat warna sintetis dalam industri pangan.
Pewarna yang dilarang untuk Pangan
Ada beberapa jenis pewarna makanan yang beredar saat ini. Ada yang buatan (sintetik), ada yang alami (natural). Pewarna sintetik biasanya terbuat dari bahan kimia, seperti tartrazin untuk warna kuning, blilliant blue untuk warna biru, alura red untuk warna merah, dan seterusnya.

Sedangkan pewarna alami biasanya diekstrak dari tanaman atau mikroba, seperti klorophil (hijau), xanthaxanthine (merah) dan sebagainya. Pada umumnya pewarna sintetis ini tidak mengandung bahan haram, tetapi kurang sehat apabila dipakai berlebihan. Ia dapat berdampak buruk pada kesehatan. Sebaliknya pewarna alami lebih aman dan tidak menimbulkan efek negatif bagi kesehatan.

Namun demikian pewarna jenis ini perlu dikaji, apakah mengandung bahan haram atau tidak. Sebab biasanya pewarna ini kurang stabil, sehingga perlu bahan tambahan untuk membuat lebih stabil. Bahan tambahan inilah yang perlu diwaspadai. Misalnya penggunaan gelatin sebagai bahan pelapis (micro enkapsulasi) pada pewarna xanthaxanthine.
MASIH rendahnya pengetahuan masyarakat soal mutu dan keamanan pangan menyebabkan maraknya kasus keracunan makanan. Hal ini diperparah dengan berbagai jenis bahan tambahan makanan (BTM) yang bersumber dari produk-produk senyawa kimia dan turunannya. Mengingat beredarnya beberapa bahan tambahan makanan yang berisiko, hendaknya konsumen lebih kritis dan berhati-hati dalam memilih dan mengonsumsi aneka makanan yang ada. Atau dapat membiasakan dengan menambahkan bahan tambahan makanan alami semisal kunyit, daun pandan dan lain sebagainya.

Sebagai konsumen, tentunya kita mempunyai hak untuk memperoleh kebutuhan pokok yang memadai, mendapatkan keamanan dari makanan dan minuman yang kita akan konsumsi. Bila konsumen mengalami kerugian dalam mengonsumsi makanan dan minuman, dapat mengajukan klaim pada instansi yang berwenang. Dalam hal ini instansi yang berwenang tersebut adalah Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan, dan Departemen Kesehatan.
Masyarakat konsumen sebaiknya tidak mengonsumsi makanan dan atau minuman yang tidak mencantumkan batas tanggal kedaluwarsa. Ada beberapa informasi penting yang harus diketahui konsumen. Pertama, harga, konsumen berhak mendapatkan informasi dan membandingkannya dengan informasi lain sehingga ia dapat membeli dengan harga sesuai daya beli mereka. Kedua, label, sebelum mengonsumsi makanan, konsumen perlu memperhatikan informasi pada kemasan atau label produksi yang harus meliputi nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat atau isi bersih, nama dan alamat produsen dan tanggal kadaluwarsa. Pemberian label pada makanan kemasan itu bertujuan agar konsumen mendapatkan informasi yang benar dan jelas tentang produk tersebut.

Ketiga, kemasan dan perubahan fisik, produk makanan dengan kemasan yang sudah rusak tidak layak dikonsumsi. Perhatikan jika bau tidak sedap, perubahan warna, bentuk, dan rasa adalah tanda-tanda makanan dalam kemasan telah rusak.
Secara umum bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terbagi atas pewarna sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia. Misalnya tartrazin untuk warna kuning, allura red untuk warna merah, dan seterusnya. Kadang-kadang pengusaha yang nakal juga menggunakan pewarna bukan makanan (non food grade) untuk memberikan warna pada makanan.

Misalnya saja penggunaan rhodamin B yang sering digunakan untuk mewarnai terasi, kerupuk dan minuman sirup. Penggunaan pewarna jenis ini tentu saja dilarang keras, karena bisa menimbulkan kanker dan penyakit-penyakit lainnya.

Bahan pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk makanan (food grade) pun harus dibatasi jumlahnya. Karena pada dasarnya, setiap benda sintetis yang masuk ke dalam tubuh kita akan menimbulkan efek. Beberapa negara maju, seperti Eropa dan Jepang bahkan telah melarang penggunaan pewarna sintetis tersebut. Misalnya saja pewarna tartrazine, telah mulai ditinggalkan oleh negara tertentu. Mereka lebih merekomendasikan pewarna alami, seperti beta karoten.
Mengapa pewarna sintetis masih sangat diminati oleh para produsen makanan? Pertama adalah masalah harga. Pewarna kimia tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami. Masalah ini tentu saja sangat diperhatikan oleh produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.

Faktor kedua adalah stabilitas. Pewarna sintetis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga warnanya tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan. Sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan disimpan. Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna alami, maka warna tersebut akan segera pudar manakala mengalami proses penggorengan.

Pewarna alami sebenarnya tidak bebas dari masalah. Dari segi kehalalan, pewarna jenis ini justru memiliki titik kritis yang lebih tinggi. Sebagaimana dijelaskan, pewarna natural ini tidak stabil selama penyimpanan. Untuk mempertahankan warna agar tetap cerah, maka sering digunakan bahan pelapis untuk melindunginya dari pengaruh suhu, cahaya dan kondisi lingkungan lainnya. Nah, bahan pelapis yang sering digunakan adalah gelatin, yang berasal dari hewan. Tentu saja gelatin ini perlu dilihat, apakah berasal dari hewan halal atau tidak.
Salah satu contoh pewarna alami yang digunakan dalam pengolahan pangan adalah xanthaxanthine. Bahan pewarna yang memberikan warna merah ini diekstrak dari sejenis tanaman. Untuk membuat pewarna tersebut stabil maka digunakan gelatin sebagai bahan pelapis (coating) melalui sistem mikroenkapsulasi. Pewarna ini sering digunakan pada industri daging dan ikan kaleng (ikan sardin).

Di satu sisi penggunaan pewarna sintetis yang tidak proporsional dapat menimbulkan masalah kesehatan. Namun penggunaan bahan pewarna alamipun jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat menjurus kepada bahan yang haram atau shubhat. Lalu bagaimana sikap kita menghadapi dilema tersebut?

Pilihan terbaik tentu saja tetap pewarna alami, karena ia adalah bahan alam yang tidak menimbulkan efek negatif pada tubuh. Namun harus diingat bahwa penggunaan bahan tambahan atau bahan penolong semisal pelapis pada pewarna tersebut harus dipilih dari bahan-bahan yang halal. Kalau harus menggunakan gelatin sebaiknya dengan gelatin yang halal. Bisa juga digunakan bahan lain, seperti maltodekstrin atau karagenan yang lebih aman dari segi kehalalan.
Jika masalah harga masih menjadi kendala, maka penggunaan bahan pewarna sintetis boleh-boleh saja. Namun harus jenis pewarna yang untuk makanan (food grade) dengan jumlah yang proporsional dan tidak berlebihan. Bagi konsumen, perlu juga mengetahui ciri-ciri pewarna yang tidak baik. Pertama, carilah makanan atau minuman yang warnanya tidak terlalu mencolok. Misalnya, hindari makanan dengan warna merah, kuning dan hijau yang terlihat `ngejreng'. Tidak menutup kemungkinan warna yang terlalu mencolok tersebut berasal dari bahan pewarna non food grade, seperti pewarna teksil yang berbahaya bagi kesehatan. Sedangkan untuk melihat pewarna yang halal dan yang tidak, secara kasat mata memang agak sulit. Oleh karena itu lebih mudah memilih makanan dan minuman yang telah bersertifikat halal.
Bahan pewarna makanan seperti amaranth, allura merah, citrus merah, karamel, erythrosin, indigotine, karbon hitam, Ponceau SX, fast green FCF, chocineal, dan kurkumin dibatasi penggunaannya. Amaranth dapat menimbulkan tumor, reaksi alergi pada pernapasan, dan dapat menyebabkan hiperaktif pada anak-anak. Allura merah bisa memicu kanker limpa. Karamel dapat menimbulkan efek pada sistem saraf, dan dapat menyebabkan penyakit pada sistem kekebalan. Indigotine dapat meningkatkan sensitivitas pada penyakit yang disebabkan oleh virus, serta mengakibatkan hiperaktif pada anak-anak. Pemakaian Erythrosin menimbulkan reaksi alergi pada pernapasan, hiperaktif pada anak-anak, dan efek yang kurang baik pada otak dan perilaku. Ponceau SX dapat berakibat pada kerusakan sistem urin, sedangkan karbon hitam dapat memicu timbulnya tumor.
Berdasarkan Permenkes No. 239/menkes/Per/V/1985 tentang Zat Warna Tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya, pewarna yang dilarang untuk pangan antara lain: Auramine, Alkanet, Butter Yellow, Black 7984, Burn Umber, Chrysoidine, Chrysoine S, Citrus Red No.2, Chocolate Brown Fb, Fast Red E, Fast Yellow AB, Guinea Green B, Indanthrene Blue RS, Mageta, Matanil Yellow, Oil Orange SS, Oil Orange XO, Oil Yellow AB, Oil Yellow OB, Orange G, Orange GGN, Orange RN, Orchil and Orcein, Ponceau 3 R, Ponceau SX, Ponceau 6 R, Rhodamin B, Sudan 1, Scarlet GN, Violet 6 B.

Ada beberapa contoh bahan pewarna berbahaya disebabkan bisa menimbulkan beberapa efek karena sifat atau karakter dari zat tersebut di antaranya: Butter Yellow bersifat karsinogenitik, Black 7984 dapat menimbulkan reaksi alergi dan intoleransi, Chrysoidine bersifat karsinogenitik, Citrus Red No.2 bersifat karsinogenitik, Chocolate Brown FB dapat menimbulkan gejala intoksikasi (keracunan), CI Basic Red 9 bersifat karsinogenitik, Metanil Yellow menyebabkan mual, muntah, diare, panas dan dalam jangka panjang bisa menimbulkan kanker kandung kemih, Oil Orange SS bersifat karsinogenitik, Orange G bersifat tumorigen dan mutagen, Ponceau SX bisa menyebabkan kerusakan pada sistem urin, Rhodamin B bersifat karsinogenitik dan bisa menyebabkan gangguan pada fungsi hati.

Sumber : Badan POM