Selasa, 26 April 2011

Cacing Nematoda Usus

Cacing Nematoda Usus


  1. Ascaris lumbricoides


Kingdom: Animalia
Filum: Nematoda
Kelas: Secernentea
Ordo: Ascaridida
Famili: Ascarididae
Genus: Ascaris
Spesies: A. lumbricoides

nama populer : roundworm, cacing gelang,cacing bulat


Nama Penyakit
Askariasis
Hospes
Manusia
Distribusi geografik
Kosmopolit
Morfologi Cacing Dewasa
  • Bentuk silindris
  • Kepala & ekor lancip
  • Kutikula bergaris-garis melintang
  • Mulut mempunyai 3 buah bibir, 1 dorsal-2 papil peraba, 2 ventrolateral 1 papil peraba
  • ♂ : panjang 15-31 cm, diameter 2-4 mm,ekor melingkar, memiliki 2 spikula
  • ♀ : panjang 22-35cm, diameter 3-6mm,ekor lurus, pada 1/3 bagian anterior memiliki cincin kopulasi, uterus 2/3 posterior

Telur
  • cacing betina mengandung ±27 juta telur dan mampu bertelur ±200.000 butir tiap harinya.
  • Berdasarkan jumlah lapisannya, terdapat 2 jenis telur:
    • Telur corticated : memiliki 3 lapisan, dari luar ke dalam :albumin,hyaline, vitteline
    • Telur decorticated : memiliki 2 lapisan, karena lapisan albumin terlepas
  • Telur fertile : ukuran ±60x45 mikron,oval,dinding tebal, corticated atau decorticated ,berisi embrio
  • Telur infertile : ukuran ±90x40 mikron, bentuk bulat lonjong atau tidak teratur, corticated atau decorticated, dalamnya bergranula
  • Telur fertile berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu 3 minggu
  • Telur berkembang baik pada tanah liat, kelembaban tinggi, dan suhu antara 250-300


Larva
  • Larva bentuk infektif menetas di usus halus
  • Larva memasuki siklus paru sebelum menetap di usus halus
Patologi Klinis
  • Larva dapat menyebabkan sindrom Loeffler , bronkopneumonia
  • Cacing dewasa menyebabkan gangguan ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi
  • Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi malabsorbsi
  • Cacing dewasa dapat menyebabkan ileus obstruktif
  • Infeksi ektopik ( infeksi di tempat tidak biasa, seperti apendiks,peritoneum,saluran empedu,trakea)
Diagnosis
  • Ada telur dalam tinja
  • Cacing dewasa keluar dari mulut, hidung, atau tinja
Terapi
  • Piperazin sitrat,pirantel pamoat,mebendazol, dan albendazol


 foto dan siklus hidup ascaris lumricoides 


2. Necator americanus dan Ancylostoma duodenale


Kingdom: Animalia
Filum: Nematoda
Kelas: Secernentea
Ordo: Strongiloidae
Famili: Ancylostomatidae
Genus: Necator/Ancylostoma
Spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

Nama populer : cacing tambang, hookworm, new world hookworm (Necator americanus), old world hookworm (Ancylostoma duodenale)


Nama penyakit
Ankilostomiasis dan nekatoriasis
Hospes
Manusia
Distribusi geografik
Kosmopolit
Morfologi cacing dewasa
Ancylostoma duodenale
  • Bentuk menyerupai huruf C
  • Dimulutnya terdapat 2 pasang gigi ventral, 1 pasang gigi dorsal semilunar
  • ♂ : panjang 1,0-1,3 cm, diameter ±0,6  mm,memiliki bursa kopulatriks, 2 buah spikula yang sejajar
  • ♀ : panjang 0,8-1,1 cm, diameter ±0,45 mm,ekor runcing
  • Warna putih kecoklatan atau agak merah muda

Necator americanus
  • Bentuk menyerupai huruf S
  • Dimulutnya terdapat 2 pasang gigi semilunar (ventral dan dorsal) , terdapat benda kitin
  • ♂ : panjang 1,0-1,3 cm, diameter ±0,6  mm,memiliki bursa kopulatriks, 2 buah spikula yang menyatu
  • ♀ : panjang 0,8-1,1 cm, diameter ±0,45 mm,ekor runcing
  • Warna putih kecoklatan atau agak merah muda

Telur
  • Necator amricanus bertelur 9000 butir per hari
  • Ancylostoma duodenale bertelur 10000 buitr per hari
  • Ukuran ±70x 45 mikron
  • bulat lonjong
  • dinding tipis
  • kedua kutub mendatar
  • didalamnya terdapat 2-8 sel
  • Telur berkembang baik pada tanah gembur (pasir,humus) dengan suhu optimum untuk N. americanus 280-320, sedangkan untuk A.duodenale lebih rendah (230-250).
  • Telur menetas dalam waktu 1-1,5 hari
Larva
  • Telur menetas menjadi larva rabditiform
  • Dalam waktu 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform
  • Larva rabditiform panjangnya ±250 mikron, rongga mulut panjang dan sempit, esophagus dengan 2 bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior.
  • Larva filariform panjangnya ±500 mikron, ruang mulut tertutup, esophagus menempati 1/ 4 panjang badan anterior.
  • Larva flariform merupakan bentuk yang infektif, dapat hidup 7-8 minggu di tanah, dan masuk  ke tubuh manusia melalui kulit
  • Larva memiliki siklus paru
Patologi Klinis
  • Stadium larva : “ground itch”  berupa bintik merah dan gatal, pada siklus paru dapat menyebabkan pneumonia
  • Stadium dewasa : anemia hipokrom mikrositer dan eosinofilia
Diagnosis
Telur dan larva dan tinja
Terapi
Mebendazol, pirantel pamoat, dan tetramisol


siklus hidup cacing tambang



 3. Trichuris Trichiura

Klasifikasi ilmiah :

Kingdom: Animalia
Filum: Nematoda
Kelas: Adenophorea
Ordo: Trichurida
Famili: Trichuridae
Genus: Trichuris
Spesies: T. trichiura

Nama populer : cacing cambuk, whipworm

Nama penyakit
Trikuriasis
Hospes
Manusia
Distribusi geografik
Kosmopolit, terutama di daerah panas dan lembab
Morfologi cacing dewasa
  • Bentuk menyerupai cambuk dan gagangnya
  • ♂ : panjang ± 4cm, 3/5 bagian anterior halus sperti cambuk,2/5 bagian  posterior gemuk,bagian ekor melingkar dengan sebuah spikulum
  • ♀ : panjang ±5cm, 3/5 bagian anterior halus seperti cambuk, 2/5 bagian  posterior gemuk, ekor lurus berujung tumpul


Telur
  • Betina  bertelur 3000-10.000 buitr per hari
  • Ukuran 50-54x 32 mikron
  • Berbentuk seperti tempayan dengan kedua ujung (operculum) menonjol
  • dinding tebal
  • kulit telur bagian luar berwarna kekuningan, dan bagian dalam jernih
  • Telur berkembang baik pada tanah liat,tempat lembabdan teduh dengan suhu optimum kira-kira 300
  • Telur matang dalam waktu 3-6 minggu
Larva
Tidak memiliki siklus paru, langsung masuk ke daerah kolon
Patologi Klinis
  • Infeksi ringan tidak menyebabkan gejala klinis yang khas
  • Infeksi berat dan menahun menyebabkan disentri, prolapsus rekti, apendisitis, anemia berat, akit perut,mual, dan muntah
Diagnosis
Telur dalam tinja
Terapi
Mebendazol, oksantel pamoat



siklus hidup T.trichiura
 

4. Strongyloides stercoralis

Klasifikasi ilmiah :

Kingdom: Animalia
Filum: Nematoda
Kelas: Secernentea
Ordo: Rhabditida
Famili: Strongyloididae
Genus: Strongyloides
Spesies: S. stercoralis

Nama populer : cacing benang, threadworm

Nama penyakit
Strongiloidiasis
Hospes
Manusia
Distribusi geografik
Terutama terdapat di daerah tropic dan subtropik, sedangkan didaerah yang dingin jarang ditemukan
Morfologi cacing dewasa
  • Terdapat 2 macam bentuk :
    • Bentuk parasit
    • Bentuk bebas (non parasit)
  • hanya ♀ hidup sebagai parasit : panjang ±2 mm,filiform, halus, tidak berwarna
  • cacing dewasa bentuk bebas ♂ : panjang 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor melingkar dengan spikulum
  • cacing dewasa bentuk bebas ♀ : panjang 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor lurus
Telur
  • Betina bentuk parasit bertelur dengan cara parthenogenesis
  • Generasi rabditiform
    • Telur dalam uterus 30-40 butir (±70x40 mikro meter)
    • Menetas menjadi larva rabditiform
  • Generasi filariform
    • Telur dalam uterus ±50x40 mikro meter
    • Dibebaskan beberapa butir/hari
    • Menetas menjadi larva rabditiform dalam jarinagn mukosa
  • Telur berkembang baik pada tanah gembur, berpasir, dan humus

Larva
  • Larva rabditiform
    • Panjang ±225 mikron
    • Ruang mulut terbuka, pendek, dan lebar
    • Esophagus dengan 2 bulbus
    • Ekor runcing

  • Larva filariform
    • Panjang ±700 mikron
    • langsing,tanpa sarung
    • ruang mulut tertutup
    • esophagus menempati ½ panjang badan
    • bagian ekor berujung tumpul berlekuk
  • Larva rabditiform dapat menjadi bentuk filariform jika kondisi sekitar tidak menguntungkan. Larva ini akan menembus kulit untuk memulai siklus paru. Siklus kehidupan ini disebut siklus langsung
  • Larva rabditiform dapat menjadi bentuk dewasa bebas bila kondisi sekitar menguntunkan. Siklus ini disebut siklus tidak langsung
Patologi Klinis
  • Stadium larva :
    • Kulit :cutaneus larva migrans
    • Paru-paru : pneumonitis,bronkopneumonia
  • Stadium dewasa : hiperinfeksi,autoinfeksi,hipereosinofilia, hepatitis,ileus paralitik
Diagnosis
larva dalam tinja, biakan, atau aspirasi duodenum
Terapi
Tiabendazol,pirvinium pamoat

siklus hidup S.stercorales
 

5. Enterobius vermicularis (Oxyuris vermicularis)


Kingdom: Animalia
Filum: Nematoda
Kelas: Secernentea
Subkelas: Spiruria
Ordo: Oxyurida
Famili: Oxyuridae
Genus: Enterobius
Spesies : Enterobius vermicularis

Nama popular :cacing kremi,cacing peniti, cacing benang, pinworm

Nama Penyakit
Oksiuriasis atau enterobiasis
Hospes
Manusia
Distribusi geografik
Kosmopolit , lebih banyak di daerah dingin daripada panas
Morfologi Cacing Dewasa
  • Kutikula bergaris-garis melintang
  • Mempunyai chepalic alae
  • ♂ : panjang 2-5mm,ekor melengkung, memiliki sebuah spikula
  • ♀ : panjang ±10 mm,ekor runcing

Telur
  • cacing betina gravid mengandung 11.000-15.000 telur dan bermigrasi dari kolon ke daerah perianal untuk bertelur
  • Telur berukuran ±55x25 mikron,lonjong asimetris,dinding tebal
  • Telur jarang dijumpai di feses
  • Dapat masuk ke hospes melalui tangan yang terkontaminasi, debu, retroinfeksi


Patologi Klinis
Priritus ani terutama pada malam hati, gejala intestinal biasanya ringan, peradngan pada vagina atau tuba fallopi
Diagnosis
Adanya telur dan cacing dewasa. Telur cacing dapat diambil dengan “anal swab”

Terapi
  • Piperazin sitrat,pirvinium pamoat,mebendazol, dan tiabendazol

siklus hidup E.vermicularis

Vibrio cholerae

Karakteristik umum


Ada dua jenis V. cholerae yang berpotensi sebagai patogen pada manusia. Jenis utama yang menyebabkan kolera adalah V. cholerae O1, sedangkan jenis-jenis lainnya dikenal sebagai non-O1.

V. cholerae O1 adaalah penyebab kolera Asiatik atau kolera epidemik. Kasus kolera sangat jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara. Sebagian besar kasus kolera terjadi di daerah-daerah (sub)-tropis. Kolera selalu disebabkan oleh air yang tercemar atau ikan (atau kerang) yang berasal dari perairan yang tercemar.

V. cholerae non-O1 hanya menginfeksi manusia dan hewan primata lainnya. Organisme ini berkerabat dengan V. cholerae O1, tetapi penyakit yang ditimbulkannya tidak separah kolera. Strain patogenik dan non-patogenik dari organisme ini merupakan penghuni normal di lingkungan air laut dan muara. Organisme ini pada masa lalu disebut sebagai non-cholera vibrio (NCV) dan nonagglutinable vibrio (NAG).

Gejala-gejala penyakit


Kolera merupakan nama penyakit yang disebabkan oleh V. cholerae .

Gejala-gejala kolera Asiatik dapat bervariasi dari diare cair yang ringan, sampai diare akut yang ditandai dengan kotoran yang berwujud seperti air cucian beras. Gejala awal penyakit ini umumnya terjadi dengan tiba-tiba, dengan masa inkubasi antara 6 jam sampai 5 hari. Kram perut, mual, muntah, dehidrasi, dan shock (turunnya laju aliran darah secara tiba-tiba). Kematian dapat terjadi apabila korban kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar. Penyakit ini disebabkan karena korban mengkonsumsi bakteri hidup, yang kemudian melekat pada usus halus dan menghasilkan racun kolera. Produksi racun kolera oleh bakteri yang melekat ini menyebabkan diare berair yang merupakan gejala penyakit ini.

Dosis infektif – Penelitian menggunakan sukarelawan manusia yang sehat menunjukkan bahwa penyakit timbul apabila manusia mengkonsumsi kurang lebih satu juta organisme. Konsumsi antasida (obat yang menetralkan asam lambung) dapat menurunkan dosis infektif secara nyata.

Gejala-gejala V. cholerae non-O1 berupa diare dan kram perut. Demam yang disertai muntah dan mual terjadi pada 25% individu yang terinfeksi. Kira-kira 25% individu yang terinfeksi akan mengeluarkan kotoran dengan darah dan lendir. Diare, pada beberapa kasus, dapat menjadi sangat parah, dan berlangsung selama 6-7 hari. Diare biasanya terjadi dalam 48 jam setelah konsumsi organisme. Mekanisme organisme ini dalam menimbulkan penyakit tidak diketahui, namun demikian racun enterotoxin dan mekanisme penyerangan diduga menjadi penyebab penyakit ini. Penyakit muncul saat organisme melekatkan diri ke usus halus individu yang terinfeksi dan kemudian menyerang korbannya.

Dosis infektif – Diduga organisme dalam jumlah besar (lebih dari satu juta) harus dikonsumsi untuk dapat menyebabkan penyakit.

Diagnosis


Penyakit kolera dapat dipastikan hanya dengan mengisolasi organisme penyebabnya dari kotoran diare individu yang terinfeksi.

Diagnosis terhadap infeksi V. cholerae non-O1 dilakukan dengan membiakkan organisme dari kotoran diare individu yang terinfeksi atau dari darah pasien yang menderita septicemia (infeksi dalam aliran darah).

Makanan terkait


Kolera umumnya merupakan penyakit yang menyebar karena sanitasi yang buruk, yang mengakibatkan kontaminasi sumber air.

Cara ini jelas merupakan mekanisme utama penyebaran kolera dalam lingkungan masyarakat miskin di Amerika Selatan.

Fasilitas sanitasi yang baik di Eropa dan Amerika Serikat mengakibatkan hampir tidak pernah terjadi wabah kolera. Kasus-kasus sporadis muncul karena kerang yang diambil dari perairan pantai yang tercemar oleh kotoran, dimakan mentah. Kolera dapat juga ditularkan oleh kerang yang dipanen dari air yang tidak tercemar karena V. cholerae O1 merupakan bagian dari mikrobiota penghuni alami perairan pantai.

Kerang yang dipanen dari perairan pantai sering mengandung V. cholerae non-O1.

Konsumsi kerang mentah, atau yang proses pemasakannya kurang tepat, atau yang sudah dimasak tetapi terkena kontaminasi ulang, dapat berakibat pada infeksi.

Pencegahan


Kebersihan yang kurang, air yang tercemar, dan cara penanganan makanan yang kurang higienis merupakan penyebab utama infeksi. Karena itu pemanasan air dengan benar (hingga mendidih) dan sanitasi yang baik dapat mencegah infeksi V. cholerae.

Populasi rentan


Semua orang diyakini rentan terhadap infeksi, tetapi individu dengan sistem kekebalan yang rusak atau tidak berkembang, asam lambung yang berkurang, atau kekurangan nutrisi dapat menderita gejala-gejala penyakit yang lebih parah.

Semua individu yang menkonsumsi kerang mentah, rentan terhadap diare yang disebabkan oleh organisme ini. 

Vibrio cholerae
TEM image

TEM image
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Bacteria
Filum: Proteobacteria
Kelas: Gamma Proteobacteria
Ordo: Vibrionales
Famili: Vibrionaceae
Genus: Vibrio
Spesies: V. cholerae
Nama binomial
Vibrio cholerae
Pacini 1854

Sumber:

 

Paragonimus westermani

Paragonimus westermani
•HOSPES
Hospes definitif : Manusia, kucing, anjing
Hospes perantara I : Keong air / siput (Melania/Semisulcospira spp)
Hospes perantara II : Ketam / kepiting
•PENYAKIT:Paragonimiasis
MORFOLOGI
Telur:
Ukuran : 80 –120 x 50 – 60 mikron
Bentuk oval cenderung asimetris.
Terdapat operkulum pada kutub yang mengecil.
Ukuran operkulum relatif besar, sehingga kadang tampak telurnya seperti terpotong.
Berisi embrio
Cacing dewasa:
Bersifat hermaprodit.
Sistem reproduksinya ovivar.
Bentuknya menyerupai daunberukuran 7 – 12 x 4 – 6 mm dengan ketebalan tubuhnya antara 3 – 5 mm.Memiliki batil isap mulut dan batil isap perut.Uterus pendek berkelok-kelok.Testis bercabang, berjumlah 2 buah.Ovarium berlobus terletak di atas testis.Kelenjar vitelaria terletak di 1/3 tengah badan

Siklus Hidup
Telur dikeluarkan bersama feses    Telur yang masuk dalam air akan menetas      mirasidium akan keluar dan mencari hospes perantara pertama yaitu keong air (siput Bulinus / Semisulcospira).     Dalam tubuh keong mirasidium berkembang menjadi sporokista dan kemudian menjadi redia.    Redia akan menghasilkan serkaria.    Serkaria akan akan keluar dari tubuh siput dan mencari hospes perantara ke-2, yiatu ketam/kepiting     Setelah masuk ke tubuh kepiting, serkaria akan melepaskan ekornya dan membentuk kista (metaserkaria.) didalam kulit di bawah sisik.    Metaserkaria akan masuk ke tubuh manusia yang mengkonsumsi kepiting yang mengandung metaserkaria yang dimasak kurang matang.    Metaserkaria akan mengalami proses ekskistasi di duodenum dan keluarlah larva.    Larva menembus dinding usus halus     rongga perut    diafragma     menuju paru -paru
Patologi dan Gejala Klinis
Gejala pertama di mulai dengan adanya batuk kering yang lama kelamaan menjadi batuk darah cacing dewasa dapat pula bermigrasi ke alat –alat  lain dan menimbulkan abses pada alat tersebut misalnya pada hati dan empedu .Saat larva masuk dalam saluran empedu dan menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan iritasi pada saluran empedu, penebalan dinding saluran, peradangan sel hati dan dalam stadium lanjut akan menyebabkan sirosis hati yang disertai oedema. Luasnya organ yang mengalami kerusakan tergantung pada jumlah cacing yang terdapat di saluran empedu dan lamanya infeksi.
Gejala yang muncul dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu :
1. Stadium ringan : tidak ditemukan gejala.
2.Stadium progresif : terjadi penurunan nafsu makan, perut     terasa penuh, diare.
3. Stadium lanjut : didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri dari pembesaran hati, ikterus, oedema dan sirosis hepatis
DIAGNOSA
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam sputum atau cairan pleura. Kadang-kadang telur juga di temukan dalam tinja
PENCEGAHAN
Tidak memakan ikan/kepiting mentah. Apabila menkonsumsi harus sudah dimasak secara sempurna sehingga bisa dihindari terinfeksi oleh metaserkaria dalam ikan/kepiting tersebut

Mikrofilaria

                                                                                               A.  WUCHERERIA BANCROFTI


- KLASIFIKASI
( Kingdom: Animalia ) ( Phylum: Nematoda ) ( Class: Secernentea ) ( Order: Spirurida ) ( Suborder: Spirurina ) ( Family: Onchocercidae ) ( Genus: Wuchereria )
B. BRUGIA TIMORI
( Kingdom: Animalia ) ( Phylum: Nematoda ) ( Class: Secernentea ) ( Order: Spirurida) ( Family: Onchocercidae ) ( Genus: Brugia ) ( Species: B. timori ) ( Binomial name Partono et al, 1777 )
C. BRUGIA MALAYI
( Kingdom: Animalia ) ( Phylum: Nematoda ) ( Class: Secernentea ) ( Order: Spirurida) ( Family: Onchocercidae ) ( Genus: Brugia) ( Species: B. malayi ) ( Binomial name BuRg, 1927 )
IDENTIFIKASI MIKROFILARIA
A. UKURAN MIKROFILARIA
- Panjangnya hampir 1 lapangan pandang ( 10 x 10 ).
- Tebalnya dibandingkan dgn sel darah putih :
> Ada yg setebal sel darah putih ( 1 )
> Ada yg setengah tebal sel darah putih ( 2 )
B.BENTUK MIKROFILARIA
- Fleksibel [ 5 ]
- Irreguler [ 6 ]
- Stiff atau rigit [ 7 ]
C.SARUNG MIKROFILARIA
Ada yg tampak ( 3 ) dan ada yg tidak tampak ( 4 ).
Dengan pewarnaan Giemsa,sarung terlihat berwarna merah atau tdk berwarna ,tergantung dari spesiesnya.
D.INTI pada Ekor
- Inti dpt terlihat sampai ujung ekor ( 8 ). Atau tdk sampai ujung ekor ( 9 ).
- Ujung ekor runcing ( 10 )
- Ujung ekor bulat ( 11 ).
- Ujung ekor melengkung spt kait ( 12 ).
E. INTI pada Badan
- Akan berwarna ungu dgn pewarnaan Giemsa.
- Inti akan tampak tersebar rata ( 13 ) atau bertumpuk ( 14 ).
FILARIA
A. DEFINISI FILARIASIS
Filariasis adalah penyakit menular ( Penyakit Kaki Gajah ) yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Akibatnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal bahkan hidupnya tergantung kepada orang lain sehingga memnjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.
B. ELIMINASI
Di Indonesia penyakit Kaki Gajah tersebar luas hampir di Seluruh propinsi. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Hasil survai laboratorium, melalui pemeriksaan darah jari.
Mikrofilaria rate (Mf rate) 3,1 %, berarti sekitar 6 juta orang sudah terinfeksi cacing filaria dan sekitar 100 juta orang mempunyai resiko tinggi untuk ketularan karena nyamuk penularnya tersebar luas. Untuk memberantas penyakit ini sampai tuntas WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global ( The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020 (. Program eliminasi dilaksanakan melalui pengobatan missal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis baik yang akut maupun kronis untuk mencegah kecacatan dan mengurangi penderitanya. Indonesia akan melaksanakan eliminasi penyakit kaki gajah secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahun.
C. PENYEBAB
Penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial yaitu; Wucheria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor penular : Di Indonesia hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres yang dapat berperan sebagai vector penular penyakit kaki gajah.
D. CARA PENULARAN
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
E. GEJALA KLINIS
Filariais Akut adalah berupa ; Demam berulang-ulang selama 3 ? 5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti). Diagnosis Filariasis dapat ditegakkan secara Klinis ; yaitu bila seseorang tersangka Filariasis ditemukan tanda-tanda dan gejala akut ataupun kronis ; dengan pemeriksaan darah jari yang dilakukan mulai pukul 20.00 malam waktu setempat, seseorang dinyatakan sebagai penderita Filariasis, apabila dalam sediaan darah tebal ditemukan mikrofilaria.
F. PENCEGAHAN
adalah dengan berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk vector ( mengurangi kontak dengan vector) misalnya dengan menggunakan kelambu bula akan sewaktu tidur, menutup ventilasi rumah dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk semprot atau obat nyamuk baker, mengoles kulit dengan obat anti nyamuk. atau ( dgn cara memberantas nyamuk ); ( dengan membersihkan tanaman air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk ) ( menimbun ) ( mengeringkan ) atau ( mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk ) ( membersihkan semak-semak disekitar rumah ).
G. PENGOBATAN
secara massal dilakukan didaerah endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) dikombinasikan dengan Albenzol sekali setahun selama 5 ? 10 tahun, untuk mencegah reaksi samping seperti demam, diberikan Parasetamol ; dosis obat untuk sekali minum adalah, DEC 6 mg/kg/berat badan, Albenzol 400 mg albenzol (1tablet ) ; pengobatan missal dihentikan apabila Mf rate sudah mencapai < 1 % ; secara individual / selektif; dilakukan pada kasus klinis, baik stadium dini maupun stadium lanjut, jenis dan obat tergantung dr keadaan kasus.
- Sumber pustaka:
* Majalah Kesehatan
* Pedoman Kerja Puskesmas
* Wikipedia

Sabtu, 23 April 2011

Uji Motilitas Bakteri

Motilitas merupakan salah satu ciri penting pengkarakterisasian bakteri. Sifat ini diakibatkan oleh adanya alat motor cambuk yang disebut flagela sehingga sel bakteri dapat berenang di dalam lingkungan air. Motilitas sebagian besar jenis bakteri motil pada suhu relatif rendah 15-25 C dan mungkin tidak motil pada suhu 37 C. Namun suatu resiko tersendiri bagi organisme berukuran kecil untuk menerima kenyataan bahwa dengan ukurannya tersebut sel bakteri dapat dipengaruhi oleh aktivitas molekul air/pelarut disekitarnya yang dinamakan Brownian movement. Gerak brown adalah gerak partikel koloid yang bergerak dengan arah tak beraturan, gerakan ini disebabkan oleh molekul-molekul pelarut dengan molekul koloid yang saling berbenturan. Gerakan acak molekul air ini dapat membuat sel bakteri bergoyang-goyang cepat atau lebih tepatnya bergetar tak beraturan sehingga bagi mata yang awas akan terlihat motil. Sel yang terpengaruh gerak brown dapat diamati pada perbesaran 1000X dengan mikroskop cahaya, tentunya dengan preparat ulas sederhana dari media kaldu atau koloni yang dicampur air, dapat juga dengan metode hanging drop preparation.

Pengetahuan tentang gerak brown pada bakteri saya dapatkan secara tidak sengaja. Preparat ulas yang disiapkan jelas berisi Bacillus sp. yang diambil dari koloni tunggal yang besar. Pada perbesaran wajib minyak imersi tampak batang bergandeng dengan endospora yang berada di dalam sel atau di luar sel. Endospora sudah jelas dengan tanpa pewarnaan khusus karena cukup refraktil dan saya yakin itu. Kebetulan jenis ini non-motil. Semua uji mengerucutkan kepada spesies yang sudah pasti dan dengan karakteristik non-motil. Namun cukup mengejutkan bahwa setelah diamati, bulatan dan batangan itu bergerak-gerak (bergetar). Tidak mungkin endospora berflagel. Kalaupun itu benar adanya maka hal pertama yang dipikirkan adalah terkontaminasi sel cocci dan semuanya jadi sia-sia. Setelah dengan rasa penasaran yang tinggi akhirnya ada suatu pernyataan bahwa gerak brown dapat terjadi pada sel bakteri.

Sel yang bergerak dengan dorongan flagel baik peritrichous, monotrichous atau tipe lain akan bergerak lebih aktif bila dibandingkan dengan sekedar dibombardir oleh molekul air. Jika suatu sel tersebut motil, maka akan menciptakan jalur gerak tak beraturan sendiri pada saat run (berenang). Namun untuk gerak brown sel tampak pasif dan seperti bergetar sendiri, mirip pada saat Anda menggetarkan batang pensil dengan memutarkan pergelangan tangan. Lalu apa bedanya dengan thumbling ?. Run pada bakteri motil kira-kira membutuhkan 1-2 detik sedangkan thumbling 0,1-0,2 detik. Jadi tidak mungkin bakteri motil thumbling terus-terusan. Lalu bagaimana jika terdapat sel dengan motilitas lemah? Untuk memastikannya lakukan uji motilitas dengan stab pada media agar tegak atau kalau tidak gunakan kontrol bakteri yang benar-benar diketahui motilitasnya seperti Pseudomonas sp. (motilitas +) atau Staphylococcus sp.(.motilitas -). Lalu bagaimana bila kontrol yang dipakai memiliki karakteristik sebagian (16-84%) strain motil dan sebagian non-motil seperti E. coli.
Pradhika, E.I. 2009

Sumber pikiran dan bacaan:
Barrow, G.I. and R.K.A. Feltham. 1993. Cowan and Steel’s, Manual for the Identification of Medical Bacteria. Cambridge University Press, New York.
Kaiser, Gary. E.. 2004. Microbiology Laboratory Manual. Catonsville Campus of The Community College of Baltimore County. http://www.cat.cc.md.us
Harley, J. P. and L. M. Prescott. 2002. Laboratory Excercises in Microbiology, fifth edition. McGraw-Hill Publishers. http://www.mhhe.com/prescott5

pemeriksaan Sperma

Pemeriksaan sperma (lebih tepatnya analisis semen) adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur jumlah serta kualitas semen dan sperma seorang lelaki. Pengertian semen berbeda dengan sperma. Secara keseluruhan, cairan putih dan kental yang keluar dari alat kelamin lelaki saat ejakulasi disebut semen. Sedangkan 'makhluk' kecil yang berenang-renang di dalam semen di sebut sperma.

Analisis semen merupakan salah satu pemeriksaan lini pertama untuk menentukan kesuburan lelaki. Pemeriksaan ini dapat membantu menentukan apakah ada masalah pada sistim produksi sperma atau pada kualitas sperma, yang menjadi biang ketidaksuburan. Perlu diketahui, hampir setengah pasangan yang tidak berhasil memperoleh keturunan, disebabkan karena ketidaksuburan pasangan lelakinya.

Ada dua tahap penting pada pemeriksaan sperma, yaitu tahap pengambilan sampel dan tahap pemeriksaan sperma. Pada tahap pengambilan sampel, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah :

Lelaki yang akan diambil semennya dalam keadaan sehat dan cukup istirahat. Tidak dalam keadaan letih atau lapar. Tiga atau empat hari sebelum semen diambil, pria tersebut tidak boleh melakukan aktifitas seksual yang mengakibatkan keluarnya semen. WHO bahkan merekomendasikan 2 sampai 7 hari harus puasa ejakulasi, tentunya tidak sebatas hubungan suami istri, tapi dengan cara apapun. Semen (sperma) dikeluarkan melalui masturbasi di laboratorium (biasanya disediakan tempat khusus).

Sperma kemudian ditampung pada tabung terbuat dari gelas. Jika mengalami kesulitan untuk mengeluarkan sperma dengan cara ini, diskusikan dengan dokter anda. Masturbasi tidak boleh menggunakan bahan pelicin seperti sabun, minyak, dll.

Sedangkan pada tahap kedua, dilakukan pemeriksaan sampel semen di laboratorium. Beberapa hal yang diperiksa antara lain : Menghitung sperma (Sperma Count), pemeriksaan ukuran, bentuk, dan gambaran sperma, dan gerakan sperma (Sperm Motility).

Hitung Sperma (Sperma Count). Semen normal biasanya mengandung 20 juta sperma per mililiternya dan 8 juta diantaranya bergerak aktif. Sperma yang bergerak aktif ini sangat penting artinya, karena menunjukkan kemampuan sperma untuk bergerak dari tempat dia disemprotkan menuju tempat pembuahan (tuba fallopi, bagian dari kandungan wanita).

Hasil pemeriksaan biasanya disajikan dalam istilah sebagai berikut :
Polyzoospermia : Konsentrasi sperma sangat tinggi
Oligozoospermia : Jumlah sperma kurang dari 20 juta/ml
Hypospermia : Volume semen < 1,5 ml
Hyperspermia : Volume semen > 5,5 ml
Aspermia : Tidak ada semen
Pyospermia : Ada sel darah putih pada semen
Hematospermia : Ada sel darah merah pada semen
Asthenozoospermia : Sperma yang mampu bergerak < 40%.
Teratozoospermia : 40% sperma mempunyai bentuk yang tidak normal
Necozoospermia : sperma yang tidak hidup
Oligoasthenozoospermia : Sperma yang mampu bergerak < 8 juta/ml
Bentuk Sperma (Sperm Morphology)

Pemeriksaan ukuran, bentuk, dan gambaran sperma biasanya melalui pemeriksaan sampel yang telah diwarnai di bawah mikroskop. Hasil pemeriksaan dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu : bentuk normal, kepala tidak normal, ekor tidak normal, dan sel sperma belum matang (immature germ cells, IGC).

Gerakan Sperma (Sperm Mobility). Dikatakan normal jika 40% atau lebih sperma dapat bergerak normal. Tetapi, beberapa pusat laboratorium mengatakan bahwa nilai normal adalah 60% atau lebih.



Pemeriksaan Tinja

1. PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS
Pemeriksaan makroskopik tinja meliputi pemeriksaan jumlah, warna, bau, darah, lendir dan parasit.1-4
a. jumlah
Dalam keadaan normal jumlah tinja berkisar antara 100-250gram per hari. Banyaknya tinja dipengaruhi jenis makanan bila banyak makan sayur jumlah tinja meningkat.2,3
b. konsistensi
Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan bebentuk. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya tinja yang keras atau skibala didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas.2,3
  1. Warna
Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah mejadi lebih tua dengan terbentuknya urobilin lebih banyak. Selain urobilin warna tinja dipengaruhi oleh berbagai jenis makanan, kelainan dalam saluran pencernaan dan obat yang dimakan. Warna kuning dapat disebabkan karena susu,jagung, lemak dan obat santonin. Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang mengandung khlorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh biliverdin dan porphyrin dalam mekonium.3,4 Kelabu mungkin disebabkan karena tidak ada urobilinogen dalam saluran pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif, tinja tersebut disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat pada defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang menyebabkan makanan mengandung banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga setelah pemberian garam barium setelah pemeriksaan
radiologik. Tinja yang berwarna merah muda dapat disebabkan oleh perdarahan yang segar dibagian distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau tomat. Warna coklat mungkin disebabkan adanya perdarahan dibagian proksimal saluran
pencernaan atau karena makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna coklat tua disebabkan urobilin yang berlebihan seperti pada anemia hemolitik. Sedangkan warna hitam dapat disebabkan obat yang yang mengandung besi, arang atau bismuth dan mungkin juga oleh melena.1-4
d. bau
Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normal pada tinja. Bau busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak dicerna dan dirombak oleh kuman. Reaksi tinja menjadi lindi oleh pembusukan semacam itu. Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan oleh peragian gula yang tidak dicerna seperti pada diare. Reaksi tinja pada keadaan itu menjadi asam.2,3
e. darah
Adanya darah dalam tinja dapat berwarna merah muda,coklat atau hitam. Darah itu mungkin terdapat di bagian lua rtinja atau bercampur baur dengan tinja. Pada perdarahan proksimal saluran pencernaan darah akan bercampur dengan tinja dan warna menjadi hitam, ini disebut melena seperti pada tukak lambung atau varices dalam oesophagus. Sedangkan pada perdarahan di bagian distal saluran pencernaan darahterdapat di bagian luar tinja yang berwarna merah muda yang dijumpai pada hemoroid atau karsinoma rektum.2,3,4
f. lendir
Dalam keadaan normal didapatkan sedikit sekali lendir dalam tinja. Terdapatnya lendir yang banyak berarti ada rangsangan atau radang pada dinding usus. Kalau lendir itu hanya didapat di bagian luar tinja, lokalisasi iritasi itu mungkin terletak pada usus besar. Sedangkan bila lendir bercampur baur dengan tinja mungkin sekali iritasi terjadi pada usus halus. Pada disentri, intususepsi dan ileokolitis bisa didapatkan lendir saja tanpa tinja.2,3
g. parasit
Diperiksa pula adanya cacing ascaris, anylostoma dan lain-
lain yang mungkin didapatkan dalam tinja.
2. PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS
Pemeriksaan mikroskopik meliputi pemeriksaan protozoa, telur cacing, leukosit, eritosit, sel epitel, kristal dan sisa makanan. Dari semua pemeriksaan ini yang terpenting adalah pemeriksaan terhadap protozoa dan telur cacing.
a. Protozoa
Biasanya didapati dalam bentuk kista, bila konsistensi tinja cair baru didapatkan bentuk trofozoit.

gambar protozoa pada mikroskopis tinja ( sumber : google )
b. Telur cacing
Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides stercoralis dan sebagainya.2,3
telur Ascaris lumbricoides (sumber:google) telur cacing tambang (sumber:google)
c. leukosit
Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan peningkatan jumlah leukosit.2,3Eosinofil mungkin ditemukan pada bagian tinja yang berlendir pada penderita dengan alergi saluran pencenaan.3


d. eritrosit
Eritrosi thanya terlihat bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus. Sedangkan bila lokalisasi lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit dalam tinja selalu berarti abnormal.
f. epitel
Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epite lyaitu yang berasal dari dinding usus bagian distal. Sel epitelyang berasal dari bagian proksimal jarang terlihat karena sel inibiasanya telah rusak. Jumlah sel epitel bertambah banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus bagian distal.1-3
g. kristal
Kristal dalam tinja tidak banyak artinya. Dalam tinja normal mungkin terlihat kristal tripel fosfat, kalsium oksalat dan asam lemak. Kristal tripel fosfat dan kalsium oksalat didapatkan setelah memakan bayam atau strawberi, sedangkan kristal asam lemak didapatkan setelah banyak makan lemak. Sebagai kelainan mungkin dijumpai kristal Charcoat Leyden Tinja LUGOL Butir-butir amilum dan kristal hematoidin. Kristal Charcoat Leyden didapat pada ulkus saluran pencernaan seperti yang disebabkan amubiasis. Pada perdarahan saluran pencernaan mungkin didapatkan kristal hematoidin.2,3
kristal hemetoidin (sumber:google)
h. Sisa makanan
Hampir selalu dapat ditemukan juga pada keadaan normal, tetapi dalam keadaan tertentu jumlahnya meningkat dan hal ini dihubungkan dengan keadaan abnormal. Sisa makanan sebagian berasal dari makanan daun-daunan dan sebagian lagi berasal dari hewan seperti serat otot, serat elastisdan lain-lain. Untuk identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan lugol untuk menunjukkan adanya amilum yang tidak sempurna dicerna. Larutan jenuh Sudan IIIatau IV dipakai untuk menunjukkan adanya lemak netral seperti pada steatorrhoe.2 Sisa makanan ini akan meningkat jumlahnya pada sindroma malabsorpsi.
3. PEMERIKSAAN KIMIA TINJA.
Pemeriksaan kimia tinja yang terpenting adalah pemeriksaan
terhadap darah samar. Tes terhadap darah samar untukmengetahui adanya perdarahan kecil yang tidak dapat dinyatakan secara makroskopik atau mikroskopik.2,3,4 Adanya darah dalam tinja selalau abnormal. Pemeriksaan darah samar dalam tinja dapat dilakukan dengan menggunakan tablet reagens. Prinsip pemeriksaan ini hemoglobin yang bersifat sebagai peroksidase akan menceraikan hidrogen peroksida menjadi air dan 0 nascens (On). On akan mengoksidasi zat warna tertentu yang menimbulkan perubahan warna 4,5
Tablet Reagens banyak dipengaruhi beberapa faktor terutama pengaruh makanan yang mempunyai aktifitas sebagai peroksidase sering menimbulkan reaksi positif palsu seperti daging, ikan sarden dan lain lain. Menurut kepustakaan, pisang dan preparat besi seperti ferrofumarat dan ferro carbonat dapat menimbulkan reaksi positif palsu dengan tablet reagens. Maka dianjurkan untuk menghindari makanan tersebut diatas selama 3-4 hari sebelum dilakukan pemeriksaan darah samar.4,5 Pemeriksaan bilirubin akan beraksi negatif pada tinja normal,karena bilirubin dalam usus akan berubah menjadi urobilinogen dan kemudian oleh udara akan teroksidasi menjadi urobilin. Reaksi mungkin menjadi positif pada diare dan pada keadaan yang menghalangi perubahan bilirubin menjadi urobilinogen, seperti pengobatan jangka panjang dengan
antibiotik yang diberikan peroral, mungkin memusnakan flora usus yang menyelenggarakan perubahan tadi.1,2,3 Dalam tinja normal selalu ada urobilin. Jumlah urobilin aka nberkurang pada ikterus obstruktif, jika obstruktif total hasil tes
menjadi negatif, tinja berwarna kelabu disebut akholik. Penetapan kuantitatif urobilinogen dalam tinja memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan terhadap tes urobilin,karena dapat menjelaskan dengan angka mutlak jumlah
urobilinogen yang diekskresilkan per 24 jam sehingga bermakna
dalam keadaan seperti anemia hemolitik dan ikterus obstruktif.2
Tetapi pelaksanaan untuk tes tersebut sangat rumit dan sulit, karena itu jarang dilakukan di laboratorium. Bila masih diinginkan penilaian ekskresi urobilin dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan urobilin urin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bauer JD, Ackerman PG, Toro G. Clinical Laboratory Methods, 8
ed, Saint Louis : The CV Mosby Company. p. 538.
2. Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinic, cetakan k-4
Penerbit Dian Rakyat 1970; p 152.
3. Hepler OE, Manual of Clinical Laboratory Methods, 4
ed. SprinfieldIllinois USA: Charles C Thomas Publisher 1956; p 124.
4. Hyde TA, Mellor LD, Raphael SS. Gastrointestinal tract in
MedicalLaboratory Technology.
ed, Raphael SS, Lynch, MJG (eds),Philadelphia: WB Saunders Company, 1976: p. 209.
5. Hematest, Leaflet ; Ames Company, Division Miles Laboratory