Kamis, 05 Mei 2011

Trematoda darah


TREMATODA DARAH
Schistosoma atau Bilharzia
Pada manusia ditenmukan 3 spesies penting: Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, Schistosoma haematobium.
Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup pada binatang dan kadang-kadang dapat menghinggapi manusia.

Hospes dan Nama penyakit
Hospes definitif adalah manusia. Berbagai macam binatang dapat berperan sebagai hospes reservoar.
Pada manusia, cacing ini menyebabkan penyakit skistosomiasis atau bilharziasis.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa jantan berwarna kelabu atau putih kehitam-hitaman, berukuran 9,5-19,5 mm x 0,9 mm. Badannya berbentuk gemuk bundar dan pada kutikulumnya terdapat tonjolan halus sampai kasar tergantung spesiesnya. Dibagain ventral badan terdapat canalis gynaecophorus, tempat cacing betina, sehingga tampak seolah-olah cacing betina ada didalam pelukan cacing jantan. Cacing betina badannya lebih halus dan panjang, beukuran 16,0-26,0 mm x 0,3 mm. Pada umumnya uterus 50-300 butir telur. Cacing trematoda ini hidup di pembuluh darah terutama di kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan selaput lendir usus atau kandung kemih.
Cacing betina meletakan telur di pembuluh darah. Telur tidak mempunyai operkulum. Telur cacing Schistosoma mempunyai duri dan lokalisasi duri tergantung spesiesnya. Telur berukuran 95-135 x 50-60 mikron. Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi ke jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kemih untuk ditemukan di dalam tinja atau urin. Telur menetas didalam air. Larva yang keluar disebut mirasidium.
Cacing ini hanya memounyai satu macam hospes perantara yaitu keong air dan tidak ada hospes perantara kedua. Mirasidium msauk kedalam tubuh keong air dan berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II kemudian menghasilkan metaserkaria yang banyak. Serkaria adalah bentuk onfektif cacing Schitosoma. Cara infeksi pada manusia adalah serkaria menembus kulit pada waktu manusia masuk kedalam ir yang mengandung serkaria. Waktu yang diperlukan untuk infeksi cacing adalah 5-10 menit. Setelah serkaria menembus kulit, kemudian masuk kedalam kapiler darah, mengalir dengan aliran darah masuk ke jantung kanan, kemudian masuk ke sistem peredaran darah besar, kecabang-cabang vena portae dan menjadi dewasa dihati. Setelah dewasa cacing ini kembali ke vena portae dan vena usus atau vena kandung kemih kemudian cacing betina bertelur setelah berkopulasi.


Schistosoma japonicum
Hospes dan nama penyakit
Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa, tikus sawah, sapi, babi, rusa dan lain-lain.
Parasit ini pada manusia menyebabkan oriental schistosoma, skistosomiasis japonika, penyakit Katayama atau penyakit demam keong.

Distribusi geografik
Cacing ini ditemukan di RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Malaysia dan Indonesia.
Di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah yaitu daerah danau Lindu dan Lembah Napu.

Morfologi dan Daur hidup

Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang betina kira-kira 1,9 cm, hidupnya di vena mesentrika superior. Telur ditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam seperti hati, paru dan otak.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan tergantung dari beratnya infeksi. Kelainan yang ditemukan pada stadium I adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala intoksiasi disertai demam, hepatomegali dan eosinofilia tinggi.
Pada stadium II ditemukan pula sindrom disentri. Pada stadium III atau stadium menahun ditemukan sirosis hati dan splenomegali; biasanya penderita menjadi lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, gejala paru dan lain-lain.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja atau dalam jaringan biopsi seperti biopsi rektum. Reaksi serologi dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis. Reaksi serologi yang biasa dipakai adalah Circumoval perecipitin test, Indirect haemagglutination test, Complement fixation test, Fluorescent antibody test dan Enzme linked immunosorbent assay.

Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemi di dua daerah di Sulawesi Tengah, yaitu di daerah danau Lindu dan Lembah Napu. Di daerah danau Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1937 dan di lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain menusia ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoar; yang terpenting adalah berbagai spesies tikus sawah. Selain itu rusa hutan, babi hutan, sapi, anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini.
Hospes perantaranya, yaitu keong air Oncomelania hupensis lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971. Habitat keong di daerah danau lindu ada 2 macam, yaitu:
1. Fokus di daerah yang digarap seperti ladang, sawah yang tidak dipakai lagi atau pinggir parit diantara sawah
2. Fokus di daerah hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah
Cara penanggulangan skistosomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan sejak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemem Kesehatan melalui Subdirektorat Pembrantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman ( Subdit, P2M $ PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari 37% turun menjadi 1,5% setelah pengobatan.

Schistosoma mansoni

Hospes dan nama penyakit
Hospes definitif adalah manusia dan kera baboon di Afrika sebagai hospes reservoar. Pada manusia cacing ini menyebabkan skistosomasis usus.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Afrika, berbagai negara Arab(Mesir), Amerika Selatan dan Tengah.

Morfologi dan Daur hidup

Cacing dewas jantan berukuran kira-kira 1 cm dan yang betina kira-kira 1,4 cm. Pada badan cacing jantan S.mansoni terdapat tonjolan lebih kasar bila dibandingkan dengan S. Haematobium dan S.japonicum. badan S.japonicum mempunyai tonjolan yang lebih halus. Tempat hidupnya di vena, kolon dan rektum. Telur juga tersebar ke alat-alat lain seperti hati, paru dan otak.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan dan gejala yang ditimbulkannya sama seperti pada S.japonicum, akan tetapi lebih ringan.
Pada penyakit ini splenomegali dapat menjadi berat sekali.
Diaognosis, Pengobatan, Prognosis dan Epidemiologi
Sama seperti pada S.japonicum.

Schistosoma haematobium
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes definitif adalah manusia. Cacing ini menyebabkan skistosomiasis kandung kemih. Babon dan kera ain dilaporkan sebagai hospes reservoar.

Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Afrika, Spanyol, dan berbagai negara Arab (timur tengah, Lembah Nil); tidak ditemukan di Indonesia.

Morfologi dan Daur Hidup

Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,3 cm dan yang betina ira-kira 2,0 cm. Hidupnya di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih.
Telur ditemukan di urin dan alat-alat dalam lainnya, juga di alat kelamin dan rektum.

Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan terutama ditemukan di dinding kandung kemih. Gejala yang ditemukan adalah hematuria dan disuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan bila terjadi kelainan di rektum.

Diaognosis, Pengobatan, Prognosis dan Epidemiologi
Sama seperti pada skistosomiasis lainnya.

diambil dari buku parasitologi kedokteran FKUI

schisto, panggilan akrab sehari-harinya cukup keren, tapi siapa yang kira kalo schisto adalah panggilan seekor cacing, Schistosoma japonicum di Indonesia cacing schisto termasuk endemik dan hanya bisa ditemukan di dataran tinggi Lindu dan Napu, Sulawesi TengahDanau Lindu termasuk wilayah Taman Nasional Lore Lindu.
Meski kecil, tapi kalo si schisto ini sudah berada di dalam tubuh manusia, yang mula-mula penderita akan mengalami gejala keracunan, disentri, penurunan berat badan sehingga kurus yang berlebihan, hingga pada pembengkakan hati yang bisa diakhiri dengan kematian.
Tidak seperti proses cacingan yang sering kita dengar dan alami, cacing ini masuk ke tubuh manusia bukan dari mulut kita, tapi langsung menembus pori-pori kita menuju aliran darah menyerbu jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati.

Daur hidup dan penularannya

Mula-mula schistosomiasis menjangkiti orang melalui kulit dalam bentuk cercaria yang mempunyai ekor berbentuk seperti kulit manusia, parasit tersebut mengalami transformasi yaitu dengan cara membuang ekornya dan berubah menjadi cacing.
Selanjutnya cacing ini menembus jaringan bawah kulit dan memasuki pembuluh darah menyerbu jantung dan paru-paru untuk selanjutnya menuju hati. Di dalam hati orang yang dijangkiti, cacing-cacing tersebut menjadi dewasa dalam bentuk jantan dan betina. Pada tingkat ini, tiap cacing betina memasuki celah tubuh cacing jantan dan tinggal di dalam hati orang yang dijangkiti untuk selamanya. Pada akhirnya pasangan-pasangan cacingSchistosoma bersama-sama pindah ke tempat tujuan terakhir yakni pembuluh darah usus kecil yang merupakan tempat persembunyian bagi pasangan cacing Schistosoma sekaligus tempat bertelur.
Saat ini prosentase prevalensi penyakit cacingan di dataran tinggi lindu juga sudah mulai menurun hingga dibawah 1%, berkat upaya aktif dari pemerintah yang secara rutin melakukan pemantauan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar