Cacing daun adalah cacing yang termasuk kelas Trematoda filum Platyhelmintes dan hidup sebagai parasit.
Pada umumnya cacing ini bersifat hermafrodit kecuali cacing Schistosoma. Spesies yang merupakan parasit pada manusia termasuk subkelas Digenea, yang hidup sebagai endoparasit.
Hospes
Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitive cacing trematoda, antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi, tikus, burung, musang, harimau dan manusia.
Menurut tempat hidup cacing dewasa dalam tubuh hospes, maka trematoda dapat dibagi dalam:
1. Trematoda hati (liver flukes): Clonorchis sinensis, Opisthorchis felineus, Opisthorchis viverrini dan Fasciola.
2. Trematoda usus (intestinal flukes): Fasciolopsis buski, Echinostomatidae dan Heterophyidae.
3. Trematoda paru ( lung flukes): Paragonimus westermani.
4. Trematoda darah ( blood flukes): Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium.
Distribusi Geografik
Pada umumnya cacing trematoda ditemukan di RRC, Korea, Jepang, Filipina, Thailand, Vietnam, Taiwan, India dan Afrika. Beberapa spesies ditemukan di Indonesia seperti Fasciolopsis buski di Kalimantan, Echinostoma di Jawa dan Sulawesi, Heterophyidae di Jakarta dan Schistosoma japonicum di Sulawesi Tengah.
Morfologi dan Daur Hidup
Pada umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetri bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa sangat beraneka ragam dari 1 mm sampai kurang lebih 75 mm. Tanda khas lainnya adalah terdapatnya 2 buah batil isap, yaitu batil isap mulut dan batil isap perut. Beberapa spesies mempunyai batil isap genital. Saluran pencernaan menyerupai huruf Y terbalik yang dimulai dengan mulut dan berakhir buntu pada sekum. Pada umumnya Trematoda tidak mempunyai alat pernafasan khusus, karena hidupnya secara anaerob. Saluran ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior. Susunan saraf dimulai dengan gangliondi bagian dorsal esofagus, kemudian terdapat saraf yang memanjang dibagian dorsal, ventral dan lateral badan. Cacing ini bersifat hermafrodit denagn alat reproduksi yang kompleks.
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh hospes definitif. Telur diletakkan di saluran hati, rongga usus, paru, pembuluh darah atau dijaringan tempat cacing hidup dan telur biasanya keluar bersama tinja, dahak atau urin. Pada umumnya telur berisis sel telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah mengandung mirasidium (M) yang mempunyai bulu getar. Bila sudah mengandung mirasidium telur menetas di dalam air (telur matang). Pada spesies trematoda yang mengeluarkan telur berisis sel telur, telur akan menjadi matang dalam waktu kurang lebih 2-3 minggu. Pada beberapa spesies Trematoda, telu matang menetas bila ditelan keong (hospes perantara) dan keluarlah mirasidium yang masuk kedalam jaringan keong; atau telur dapat langsung menetas dan mirasidium berenang di air; dalam waktu 24 jam kmirasidium harusn sudah menemukan keong air agar dapat melanjutkan perkembangannya. Keong air disini berfungsi sebagai hospes perantara pertama atau HP1. Dalam keong air tersebut mirasidium berkembang menjadi sebuah kantung yang berisi embrio, disebut sporokista (S). Sporokista ini dapat mengandung sporokista lain atau redia (R); bentuknya berupa kantung yang sudah mempunyai mulut, faring, dan sekum. Didalam sporokista dua / redia (R) , larva berkembang menjadi serkarian (SK).
Perkembangan larva dalam hospes perantara satu terjadi sebagai berikut:
M→S→R→SK : Misalnya Clonorsis sinensis
M→S1→S2→SK : Misalnya Schitosoma
M→S→R1→R2→SK : Misalnya Trematoda lainnya
Serkaria kemudian keluar dari keong air dan mencari hospes perantara dua yang berupa ikan, tumbuh-tumbuhan air, ketam, udang batu, dan keong air lainnya, atau dapat menginfeksi hospes definitive secara langsung seperti pada Schistosoma. Dalam hospes perantara dua serkaria berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Hospes definitif mendapat infeksi bila makan hospes perantara dua yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan baik. Infeksi cacing Schistosoma terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes definitif, yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang menjadi cacing dewasa dalam tubuh hospes.
Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing di dalam tubuh hospes; selain itu juga ada pengaruh rangsanga setempat dan zat toksin yang dikeluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorbsi zat toksin tersebut, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Cacing daun yang hidupdi rongga usus biasanya tidaka memberi gjala atau hanya gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Bila cacing hidup di jaringan paru seperti Paragonimus, mungkin menimbulkan gejala batuk, sesak nafas, dan batuk darah(hemoptisis). Cacing yang hidup di salyuran empedu hati seperti Clonorchis, Opistrhorchis dan Fasciola dapat menimbulakn rangsangan dan menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainya adalah peradangan hati sehingga terjadi hepatomegali. Bila ini terjadi berlarut-larut, dapat mengakibatkan sirosis hati. Cacing Schistosoma yang hidup di pembuluh darah, terutama telurnya mengakibatkan kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya fibrosis jaringan alat yang di infiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus, dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan lain-lain.
Pada umumnya cacing ini bersifat hermafrodit kecuali cacing Schistosoma. Spesies yang merupakan parasit pada manusia termasuk subkelas Digenea, yang hidup sebagai endoparasit.
Hospes
Berbagai macam hewan dapat berperan sebagai hospes definitive cacing trematoda, antara lain: kucing, anjing, kambing, sapi, tikus, burung, musang, harimau dan manusia.
Menurut tempat hidup cacing dewasa dalam tubuh hospes, maka trematoda dapat dibagi dalam:
1. Trematoda hati (liver flukes): Clonorchis sinensis, Opisthorchis felineus, Opisthorchis viverrini dan Fasciola.
2. Trematoda usus (intestinal flukes): Fasciolopsis buski, Echinostomatidae dan Heterophyidae.
3. Trematoda paru ( lung flukes): Paragonimus westermani.
4. Trematoda darah ( blood flukes): Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium.
Distribusi Geografik
Pada umumnya cacing trematoda ditemukan di RRC, Korea, Jepang, Filipina, Thailand, Vietnam, Taiwan, India dan Afrika. Beberapa spesies ditemukan di Indonesia seperti Fasciolopsis buski di Kalimantan, Echinostoma di Jawa dan Sulawesi, Heterophyidae di Jakarta dan Schistosoma japonicum di Sulawesi Tengah.
Morfologi dan Daur Hidup
Pada umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetri bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa sangat beraneka ragam dari 1 mm sampai kurang lebih 75 mm. Tanda khas lainnya adalah terdapatnya 2 buah batil isap, yaitu batil isap mulut dan batil isap perut. Beberapa spesies mempunyai batil isap genital. Saluran pencernaan menyerupai huruf Y terbalik yang dimulai dengan mulut dan berakhir buntu pada sekum. Pada umumnya Trematoda tidak mempunyai alat pernafasan khusus, karena hidupnya secara anaerob. Saluran ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian posterior. Susunan saraf dimulai dengan gangliondi bagian dorsal esofagus, kemudian terdapat saraf yang memanjang dibagian dorsal, ventral dan lateral badan. Cacing ini bersifat hermafrodit denagn alat reproduksi yang kompleks.
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh hospes definitif. Telur diletakkan di saluran hati, rongga usus, paru, pembuluh darah atau dijaringan tempat cacing hidup dan telur biasanya keluar bersama tinja, dahak atau urin. Pada umumnya telur berisis sel telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah mengandung mirasidium (M) yang mempunyai bulu getar. Bila sudah mengandung mirasidium telur menetas di dalam air (telur matang). Pada spesies trematoda yang mengeluarkan telur berisis sel telur, telur akan menjadi matang dalam waktu kurang lebih 2-3 minggu. Pada beberapa spesies Trematoda, telu matang menetas bila ditelan keong (hospes perantara) dan keluarlah mirasidium yang masuk kedalam jaringan keong; atau telur dapat langsung menetas dan mirasidium berenang di air; dalam waktu 24 jam kmirasidium harusn sudah menemukan keong air agar dapat melanjutkan perkembangannya. Keong air disini berfungsi sebagai hospes perantara pertama atau HP1. Dalam keong air tersebut mirasidium berkembang menjadi sebuah kantung yang berisi embrio, disebut sporokista (S). Sporokista ini dapat mengandung sporokista lain atau redia (R); bentuknya berupa kantung yang sudah mempunyai mulut, faring, dan sekum. Didalam sporokista dua / redia (R) , larva berkembang menjadi serkarian (SK).
Perkembangan larva dalam hospes perantara satu terjadi sebagai berikut:
M→S→R→SK : Misalnya Clonorsis sinensis
M→S1→S2→SK : Misalnya Schitosoma
M→S→R1→R2→SK : Misalnya Trematoda lainnya
Serkaria kemudian keluar dari keong air dan mencari hospes perantara dua yang berupa ikan, tumbuh-tumbuhan air, ketam, udang batu, dan keong air lainnya, atau dapat menginfeksi hospes definitive secara langsung seperti pada Schistosoma. Dalam hospes perantara dua serkaria berubah menjadi metaserkaria yang berbentuk kista. Hospes definitif mendapat infeksi bila makan hospes perantara dua yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan baik. Infeksi cacing Schistosoma terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes definitif, yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang menjadi cacing dewasa dalam tubuh hospes.
Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing di dalam tubuh hospes; selain itu juga ada pengaruh rangsanga setempat dan zat toksin yang dikeluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorbsi zat toksin tersebut, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan lain-lain. Cacing daun yang hidupdi rongga usus biasanya tidaka memberi gjala atau hanya gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Bila cacing hidup di jaringan paru seperti Paragonimus, mungkin menimbulkan gejala batuk, sesak nafas, dan batuk darah(hemoptisis). Cacing yang hidup di salyuran empedu hati seperti Clonorchis, Opistrhorchis dan Fasciola dapat menimbulakn rangsangan dan menyebabkan penyumbatan aliran empedu sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainya adalah peradangan hati sehingga terjadi hepatomegali. Bila ini terjadi berlarut-larut, dapat mengakibatkan sirosis hati. Cacing Schistosoma yang hidup di pembuluh darah, terutama telurnya mengakibatkan kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya fibrosis jaringan alat yang di infiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus, dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan lain-lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar